Sabtu, 31 Desember 2011

Mengenal 12 istri Rasulullah Saw ( Ummul Mukminin )

1 SITI KHADIJAH (Ummul Mukminin pertama).
Lahir di Mekkah tahun 556, Khadijah adalah wanita pertama pemeluk Islam. Ketika disunting RasuluLlah SAW, ia seorang janda berusia 40 tahun. Berasal dari keluarga terpandang dan ia sendiri menjadi orang terkaya di kotanya. Sedangkan RasuluLlah SAW masih muda, berusia sekitar 25 tahun dan dari keluarga miskin. Keinginan perkawinan itu datang dari pihak Khadijah.
Setelah menikah, semua kekayaan Khadijah dipergunakan sepenuhnya untuk mendukung dakwah RasuluLlah SAW. Juga, karena kewibawaannya di hadapan suku Quraisy, ia pun menjadi pelindung RasuluLlah SAW dari ancaman orang-orang Quraisy.

Rasulullah SAW sangat mencintai Khadijah. Meskipun Khadijah sudah meninggal beberapa tahun, RasuluLlah SAW masih tetap mengenang. Sehingga pernah isterinya yang lain –Aisyah– memprotes cemburu. “Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman padaku saat semua orang ingkar, yang percaya padaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan hartanya saat semua berusaha mempertahankannya;… dan darinyalah aku mendapatkan keturunan,” kata RasuluLlah SAW di hadapan Aisyah.
Dari Khadijah, Nabi mendapat kurnia 7 anak: 3 putra dan 4 putri. Yang putra bernama al-Qasim, Abdullah, dan (Thaher, meninggal ketika masih bayi). Sedangkan yang putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum dan Fatimah. Sebelum dengan Nabi, Khadijah pernah menikah dengan Abu Halal an-Nabbasy bin Zurarah. Dari Abu Halal, Khadijah mendapat seorang anak.
Setelah Abu Halal meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin Abid al-Makhzumi. Sampai Atiq meninggal, mereka tidak dikurnia anak. Ummul mukminin al-Kubra (Ibu Kaum Mukminin yang Agung) ini sendiri meninggal pada 619 H.

2. SAUDAH BINTI ZUM’AH (Ummul Mukminin kedua).

Setelah Khadijah meninggal, Nabi baru bersedia menikah lagi. Saudah juga seorang janda. Suaminya, as-Sakran bin Amru al-Amiri, meninggal ketika hijrah ke Habsyi (Ethiopia).
Saudah sangat berduka ditinggal suaminya itu. Untuk mengobati duka itu, atas saran seorang wanita Khaulah binti Hakim As, Rasulullah SAW lantas meminang Saudah. Meskipun RasuluLlah SAW juga menyayangi Saudah, tetapi ternyata hatinya tidak mampu mencintai wanita ini. Karena merasa berdosa, RasuluLlah SAW lantas ingin menceraikan Saudah. Tapi apa kata Saudah, “Biarlah RasuluLlah SAW aku begini. Aku rela malamku untuk Aisyah (Ummul Mukminin ke tiga Nabi). Aku sudah tidak membutuhkan lagi.”
Saudah wafat dimasa kekhalifahan Umar bin Khaththab hampir berakhir.

3. AISYAH BINTI ABU BAKAR (Ummul Mukminin ketiga).

Satu-satunya isteri Nabi yang masih gadis, ketika dinikahi Nabi. Putri sahabat Nabi, Abu Bakar ash-Shiddiq ini dilahirkan 8 atau 9 tahun sebelum Hijrah.
Setelah Khadijah, Aisyahlah isteri yang paling dekat dengan Nabi. Cantik dan cerdas, begitu penampilannya. Karena kedekatan dan kecerdasannya itu, setelah Nabi wafat, banyak hadist yang ia riwayatkan. Terutama soal wanita dan keluarga. Ada 1.210 hadith yang diriwayatkan Aisyah, di antaranya 228 terdapat dalam hadith shahih Bukhari.
Selama mendampingi Nabi, Aisyah pernah dilanda fitnah hebat. Ceritanya, pada peperangan melawan Bani Mustaliq, berdasarkan undian di antara isteri-isteri Nabi, Aisyah terpilih mendampingi Nabi. Dalam perjalanan pulang, rombongan istirahat pada suatu tempat Aisyah turun dari sekedupnya (sejenis pelana yang beratap di atas punuk unta), karena ada keperluan. Kemudian kembali. Tetapi ada yang ketinggalan, ia kembali lagi untuk mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan perkiraan bahwa Aisyah sudah ada di sekedupnya. Aisyah tertinggal.
Ketika sahabat Nabi, Safwan bin Buattal menemuinya, Aisyah sudah tertidur. Akhirnya, ia pergi diantar Safwan. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan orang-orang kafir untuk menghantam Nabi. Disebarkan fitnah, Aisyah telah serong. Fitnah ini benar-benar meresahkan ummat. Bahkan Nabi sendiri sempat goyah kepercayaannya pada Aisyah. Sehingga turunlah wahyu surat An Nuur ayat 11. Inti wahyu itu, menegur Nabi dan membenarkan Aisyah.
Aisyah wafat pada malam Selasa, 17 Ramadhan 57 H, dalam usia 66 tahun. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan dimakamkan di Ummahat al-Mukminin di Baqi (sebelah Masjid Madinah) bersama Ummul Mukminin lainnya.
4. HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat).
Hafsah adalah janda Khunais bin Huzafah, sahabat RasuluLlah SAW yang meninggal ketika perang Uhud.
Rasulullah SAW menikahi Hafsah, kerena kasihan kepada Umar bin Khattab –ayah Hafsah. Hafsah sedih ditinggal suaminya, apalagi usianya baru 18 tahun. Melihat kesedihan itu, Umar berniat mencarikan suami lagi.
Pilihannya jatuh kepada sahabatnya yang juga orang kepercayaan RasuluLlah SAW, yakni Abu Bakar. Tapi ternyata Abu Bakar hanya diam saja. Dengan perasaan kecewa atas sikap Abu Bakar itu, Umar menemui Usman bin Affan, dengan maksud yang sama. Ternyata Usman juga menolak, karena dukanya atas kematian isterinya, belum hilang. Isteri Usman adalah putri RasuluLlah SAW sendiri, Ruqayyah.
Lalu Umar mengadu kepada RasuluLlah SAW. Melihat sahabatnya yang marah dan sedih itu, RasuluLlah SAW ingin menyenangkannya, lantas berkata “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Usman, dan Usman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah.” Tak lama kemudian, Hafsah dinikahi RasuluLlah SAW, sedang Usman dengan Ummu Kalsum, putri RasuluLlah SAW juga.
Suatu malam di kamar Hafsah, RasuluLlah SAW sedang berdua dengan isterinya yang lain, Maria. Hafsah cemburu berat, lantas menceritakan kepada Aisyah. Aisyah kemudian memimpin isteri-isteri yang lain, protes kepada RasuluLlah SAW.
RasuluLlah SAW sangat marah dengan ulah isteri-isterinya itu. Saking marahnya, beliau tinggalkan mereka selama satu bulan. Terhadap kasus ini, kemudian Allah menurunkan wahyu surat at-Tahrim ayat 1-5.
Sejarah mencatat, Hafsahlah yang dipilih di antara isteri-isteri RasuluLlah SAW untuk menyimpan naskah pertama al-Qur’an. Hafsah wafat pada awal pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dimakamkan di Ummahat al-Mu’minin di Baqi.
5. ZAINAB BINTI KHUZAIMAH (Ummul Mukminin kelima).
Di antara isteri-isteri RasuluLlah SAW, Zainablah yang wafat lebih dulu, setelah Khadijah. Para sejarawan tidak banyak tahu tentang Zainab, termasuk latar belakangnya. Tapi yang jelas ia juga seorang janda saat dinikahi RasuluLlah SAW.
Hidupnya bersama RasuluLlah SAW, hanya singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika RasuluLlah SAW masih hidup. Dan RasuluLlah SAW sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
6. UMMU SALAMAH (Ummul Mukminin keenam).
Nama aslinya, Hindun binti Abu Umayah bin Mughirah. Suaminya bernama Abdullah bin Abdul Asad. Abdullah atau dipanggil Abu Salamah, meninggal ketika perang melawan Bani As’ad yang akan menyerang Madinah. Sebelum meninggal Abu Salamah berwasiat, agar isterinya ada yang menikahi dan orang itu harus lebih baik dari dirinya.
Abu Bakar ingin melaksanakan wasiat itu, dengan meminang Ummu Salamah tapi ditolak. Demikian pula Umar bin Khattab, juga ditolak. Tiada lain, RasuluLlah SAW sendiri akhirnya yang maju. Dan diterima. Ketika itu umur Ummu Salamah hanya beberapa tahun dibawah RasuluLlah SAW dan sudah beranak empat.
Sejarah mencatat, surat at-Taubah 102 turun tatkala RasuluLlah SAW sedang berbaring di kamarnya Ummu Salamah. Dalam perjanjian Hudaibiyah, Umum Salamah punya peranan penting.
Banyak sahabat RasuluLlah SAW yang protes terhadap perjanjian itu, termasuk Umar. Usai perjanjian ditandatangani, RasuluLlah SAW memerintahkan para sahabat agar menyembelih ternak dan memotong rambut. Namun tidak ada yang melakukan seruan itu. RasuluLlah SAW mengulangnya sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada yang menyahut. Dengan kesal dan marah kembali ke kemahnya.
Ummu Salamah lantas usul, agar RasuluLlah SAW jangan hanya bicara, langsung saja contoh. Benar juga, RasuluLlah SAW lantas keluar menyembelih ternak dan menyuruh pembantu memotong rambut beliau. Kaum muslimin kemudian banyak yang mengikuti rindakan RasuluLlah SAW ini, karena takut dikatakan tidak mengikuti sunnah RasuluLlah SAW. Ummu Salamah banyak mengikuti peperangan. Ia hidup sampai usia lanjut. Ia wafat setelah peristiwa Karbala, yakni terbunuhnya Husein, cucu RasuluLlah SAW. Ummu Salamah adalah Ummahatul Mukminin yang paling akhir wafatnya.
7. ZAINAB BINTI JAHSY (Ummul Mukminin ketujuh).
Zainab adalah bekas isteri Zaid bin Haritsah yang telah bercerai. Sedang Zaid adalah anak angkat RasuluLlah SAW. Zainab sendiri dengan RasuluLlah SAW juga masih bersaudara. Karena wanita ini adalah cucu Abdul Muthalib, kakek RasuluLlah SAW (baca Sejarah, Sahid, April l997).
Meski perkawinan Zainab dengan Nabi jelas-jelas perintah Allah, tapi gosip menyelimuti perkawinan mereka. Wahyu yang memerintah Nabi agar menikahi Zainab itu ada pada al-Ahzab 37. Dari perkawinan inilah kemudian turun hukum-hukum pernikahan, termasuk perintah hijab (al-Ahzab 53).

8. JUWAIRIAH BINTI HARITS (Ummul Mukminin kelapan).

Nama sebenarnya adalah Barrah binti Harits bin Abi Dhirar, putri pimpinan pemberontak dari suku Bani Musthalaq, Harits bin Dhirar. Setelah menikah dengan Nabi berganti nama Juwairiah. Sebelumnya, Juwairiah adalah tawanan perang.
Riwayat selanjutnya tak banyak diketahui oleh para sejarawan. Hanya ia meninggal dalam usia 65 tahun, di Madinah, pada masa Muawiyah. Dishalatkan dengan Imam Amir Madinah yaitu Marwan bin Hakam.

9. SOFIYAH BINTI HUYAI (Ummul Mukminin kesembilan).

Satu-satunya isteri Nabi dari golongan Yahudi ya Sofiyah ini. Sofiyah masih keturunan Nabi Harun dan ibunya Barrah binti Samual. Meski usianya baru 17 tahun, tapi ia sudah dua kali menikah. Pertama dengan Salam bin Masyham, dan kedua dengan Kinanah bin Rabi bin Abil Haqiq, pemimpin benteng Qumus, benteng terkuat di Khaibar, markasnya kaum Yahudi.
Dikawininya Sofiyah itu, Nabi sebenarnya berharap agar kebencian kaum Yahudi kepada kaum muslimin dapat diredam. Sofiyah wafat tahun 50 Hijriah, pada zaman Mua’wiyah. Dimakamkan di Baqi.

10. UMMU HABIBAH BINTI SOFYAN (Ummul Mukminin kesepuluh).

Nama sebenarnya Ramlah binti Abi Sofyan. Ia memang putri pemimpin Quraisy, Abu Sofyan, musuh bebuyutan Islam itu. Habibah adalah nama putri Ramlah hasil perkawinan dengan Ubaidillah, saudara Ummul Mukminin Zainab ra. Tentu saja Ramlah telah masuk Islam.
Berdua dengan suaminya, ia kemudian hijrah ke Habsyi (Afrika). Celakanya, sesampai di Habsyi suaminya murtad, masuk Nasrani. Selanjutnya, Ramlah dinikahi RasuluLlah SAW. Mendengar ini, betapa marahnya Abu Sofyan, putrinya sendiri masuk Islam dan sekarang kawin dengan musuh besarnya, Nabi Muhammad SAW.
Sampai akhir hayatnya, Ramlah tetap membela Islam dan suaminya. Ia wafat pada usia 60 tahun. Juga dimakamkan di Baqi.
11. MARIAH AL QIBTIYAH (Ummul Mukminin kesebelas).
Mariah sebelumnya adalah budak kiriman dari raja Mesir. Kemudian diangkat derajatnya dengan dijadikan isteri Nabi. Setelah Khadijah, Mariah satu-satunya isteri Nabi yang melahirkan anak. Namanya Ibrahim bin Nabi Muhammad SAW. Cuma, sayangnya Ibrahim meninggal. RasuluLlah SAW sangat sedih dengan kematian putranya itu.
Mariah wafat pada tahun 16 hijriah. Dishalatkan oleh Amir Mukminin Umar bin Khattab.
12. MAIMUNAH BINTI AL HARITS (Ummul Mukminin kedua belas).
Nama aslinya adalah Barrah binti Harits. Setelah menikah dengan Nabi, diganti dengan Maimunah. Perkawinan ini –Barrah ketika itu janda berumur 26 tahun– sesungguhnya atas permintaan paman Nabi, yakni Abbas bin Abdul Muthalib. Barrah sendiri adalah adik dari isteri Abbas. Tidak banyak yang diketahui sejarah Barrah. Yang jelas ia wafat pada tahun 51 hijriah..

Rabu, 28 Desember 2011

Tersenyumlah...












Ketika Anda membuka lembaran sirah kehidupan Muhammad saw., Anda tidak akan pernah berhenti kagum melihat kemuliaan dan kebesaran pribadi beliau saw. Sisi kebesaran itu terlihat dari sikap seimbang dan selaras dalam setiap perilakunya, sikap beliau dalam menggunakan segala sarana untuk meluluhkan kalbu setiap orang dalam setiap kesempatan.
Sarana paling besar yang dilakukan Muhammad saw. dalam dakwah dan perilaku beliau adalah, gerakan yang tidak membutuhkan biaya besar, tidak membutuhkan energi berlimpah, meluncur dari bibiruntuk selanjutnya masuk ke relung kalbu yang sangat dalam.
Jangan Anda tanyakan efektifitasnya dalam mempengaruhi akal pikiran, menghilangkan kesedihan, membersihkan jiwa, menghancurkan tembok pengalang di antara anak manusia!. Itulah ketulusan yang mengalir dari dua bibir yang bersih, itulah senyuman!
Itulah senyuman yang direkam Al Qur’an tentang kisah Nabi Sulaiman as, ketika Ia berkata kepada seekor semut,
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. An Naml:19
Senyuman itulah yang senantiasa keluar dari bibir mulia Muhammad saw., dalam setiap perilakunya. Beliau tersenyum ketika bertemu dengan sahabatnya. Saat beliau menahan amarah atau ketika beliau berada di majelis peradilan sekalipun.
Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah saw tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”
Suatu ketika Muhammad saw. didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad saw., sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad saw. menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”
Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.
Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka:
“Saya mendatangi Muhammad saw., ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”
Suatu ketika Muhammad saw. melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.
Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci, sampai akhir detik-detik hayat beliau.
Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad saw. yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”
Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-shabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!
Menyentuh Hati
Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan. Rasulullah saw. bersabda,
“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” At Tirmidzi dalam sahihnya.
Meskipun sudah sangat jelas dan gamblang petunjuk Nabi dan praktek beliau langsung ini, namun Anda masih banyak melihat sebagaian manusia masih berlaku keras terhadap anggota keluarganya, tehadap rumah tangganya dengan tidak menebar senyuman dari bibirnya dan dari ketulusan hatinya.
Anda merasakan bahwa sebagian manusia -karena bersikap cemberut dan muka masam- mengira bahwa giginya bagian dari aurat yang harus ditutupi! Di mana mereka di depan petunjuk Nabi yang agung ini! Sungguh jauh mereka dari contoh Nabi muhammad saw.!
Ya, kadang Anda melewati jam-jam Anda dengan dirundung duka, atau disibukkan beragam pekerjaan, akan tetapi Anda selalu bermuka masam, cemberut dan menahan senyuman yang merupakan sedekah, maka demi Allah, ini adalah perilaku keras hati, yang semestinya tidak terjadi. Wal iyadzubillah.
Pengaruh Senyum
Sebagian manusia ketika berbicara tentang senyuman, mengaitkan dengan pengaruh psikologis terhadap orang yang tersenyum. Mengkaitkannya boleh-boleh saja, yang oleh kebanyakan orang boleh jadi sepakat akan hal itu. Namun, seorang muslim memandang hal ini dengan kaca mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw. yang disunnahkan dan bernilai ibadah.
Para pakar dari kalangan muslim maupun non muslim melihat seuntai senyuman sangat besar pengaruhnya.
Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana Anda Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Manusia” menceritakan:
“Wajah merupakan cermin yang tepat bagi perasaan hati seseorang. Wajah yang ceria, penuh senyuman alami, senyum tulus adalah sebaik-baik sarana memperoleh teman dan kerja sama dengan pihak lain. Senyum lebih berharga dibanding sebuah pemberian yang dihadiahkan seorang pria. Dan lebih menarik dari lipstik dan bedak yang menempel di wajah seorang wanita. Senyum bukti cinta tulus dan persahabatan yang murni.”
Ia melanjutkan, “Saya minta setiap mahasiswa saya untuk tersenyum kepada orang tertentu sekali setiap pekannya. Salah seorang mahasiswa datang bertemu dengan pedagang, ia berkata kepadanya, “Saya pilih tersenyum kepada istriku, ia tidak tau sama sekali perihal ini. Hasilnya adalah saya menemukan kebahagiaan baru yang sebelumnya tidak saya rasakan sepanjang akhir tahun-tahun ini. Yang demikian menjadikan saya senang tersenyum setiap kali bertemu dengan orang. Setiap orang membalas penghormatan kepada saya dan bersegera melaksanakan khidmat -pelayanan- kepada saya. Karena itu saya merasakan hidup lebih ceria dan lebih mudah.”
Kegembiraan meluap ketika Carnegie menambahkan, “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, bahkan membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justeru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”
Betapa kita sangat membutuhkan sosialisasi dan penyadaran petunjuk Nabi yang mulia ini kepada umat. Dengan niat taqarrub ilallah -pendekatan diri kepada Allah swt.- lewat senyuman, dimulai dari diri kita, rumah kita, bersama istri-istri kita, anak-anak kita, teman sekantor kita. Dan kita tidak pernah merasa rugi sedikit pun! Bahkan kita akan rugi, rugi dunia dan agama, ketika kita menahan senyuman, menahan sedekah ini, dengan selalu bermuka masam dan cemberut dalam kehidupan.
Pengalaman membuktikan bahwa dampak positif dan efektif dari senyuman, yaitu senyuman menjadi pendahuluan ketika hendak meluruskan orang yang keliru, dan menjadi muqaddimah ketika mengingkari yang munkar.
Orang yang selalu cemberut tidak menyengsarakan kecuali dirinya sendiri. Bermuka masam berarti mengharamkan menikmati dunia ini. Dan bagi siapa saja yang mau menebar senyum, selamanya ia akan senang dan gembira. Allahu a’lam

Selasa, 27 Desember 2011

Hanzhalah bin Abu Amir : Ku Tinggalkan Bulan Madu, Tuk Meraih Syahid

Hanzhalah bin Abu Amir, adalah anak pemimpin suku Aus yang terbilang kaya di Yastrib (Madinah), ayahnya Abu Amir bin Shaifi adalah orang yang sangat benci kepada Islam, yang  pada zaman Jahiliyah dia mendapat julukan Abu Amir sang pendeta, tapi julukan itu berubah menjadi Abu Amir lelaki fasik setelah Islam menguasai Yastrib (Madinah).

Dan ketika cahaya Islam telah diraihnya ia pun menikah dengan Jamillah binti Abdullah bin Ubay bin Salul anak sahabat bapaknya yang dikenal sebagai tokoh munafik. Ia adalah pemuda sederhana yang tumbuh menjadi sosok yang tidak pernah ‘minder’ dan gampang putus asa, ia tidak merasa gentar kala harus membela kebenaran Islam yang dibawa Muhammad, walaupun ia harus berhadapan dengan bapaknya sendiri.


Rasa Takut Hanzholah ra Terhadap Sifat Munafik


Hanzhalah r.a bercerita, “Suatu hari kami menghadiri Majelis Rasulullah Saw. beliau memberikan nasihat kepada kami, nasihat itu membuat hati kami lembut sehingga kami menangis mencucurkan air mata, seolah-olah kami melihat surga dan neraka seperti yang diceritakan oleh Beliau. Sepulangnya dari Majelis Rasulullah Saw saya kembali ke rumah menemui anak isteri saya. Lalu bercanda dengan anak-anak dan bercumbu dengan isteri saya, kemudian kami mulai membicarakan masalah keduniaan. Suasana di rumah beda sekali dengan suasana di majelis Majelis Rasulullah Saw jika tadi saya merasa takut, tapi kini saya merasa gembira. Tiba-tiba saya berkata dalam hati, “Hanzhalah, engkau kini telah menjadi munafik. Nyatanya, keadaanmu ketika berada dihadapan Rasulullah Saw jauh berbeda dengan keadaan sekarang ketika kamu berada di rumah. “

Saya merasa sangat sedih dan kecewa terhadap diri saya. Saya pun keluar rumah dan berkata, “Hanzhalah telah menjadi munafik.“ Ketika saya bertemu dengan Abu bakar, saya terus berkata demikian. Abu Bakar berkata, “Subhanallah! Apa yang engkau katakan?. Sekali-kali Hanzhalah bukanlah seorang munafik . “

Saya berkata, “ketika kita mendengar nasihat Nabi tadi, saya merasa surga dan neraka betul-betul di depan kita. Tetapi ketika pulang bertemu dengan keluarga, kita melupakan kampung akhirat. “Abu Bakar r.a berkata “Ya, keadaan saya juga demikian. “Kemudian kami berdua menghadap Rasulullah Saw."

Saya berkata, “Ya, Rasulullah, saya telah menjadi orang munafik. ”Nabi Saw bertanya. “Apa yang telah terjadi?” Saya berkata, “Ya, Rasulullah, jika kami berada di majelismu dan engkau menceritakan tentang surga dan neraka kepada kami, kami merasa takut. Tetapi jika kami kembali ke rumah menjumpai anak isteri kami, bercanda  dan bermain bersama mereka, kami melupakan surga dan neraka.“
Mendengar penjelasan saya, Nabi Saw  bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan–Nya, jika setiap saat keadaanmu seperti ketika berada di dekat saya, niscaya para malaikat akan turun mengucapkan salam kepadamu ditempat tidurmu dan ketika kamu sedang berjalan. Tetapi wahai Hanzhalah, keadaan ini seperti ini jarang terjadi. “

Tak kalah masa keindahan itu tiba selepas melangsungkan pernikahan dengan wanita yang dicintainya, malam pertama sebagai bulan madu dilewati dengan penuh rasa kebahagiaan belum lagi menuntaskan rasa kebahagiaan itu tiba- tiba sayup terdengar dari jauh suara panggilan jihad yang semakin lama mendekat dan menggetarkan hati beliau, dan seruan jihad itu makin lama makin terngiang di telinganya dan tanpa pikir panjang lagi ia pun bergegas mengambil pedangnya yang memang telah dipersiapkan dan ia pun menuju medan pertempuran di Bukit Uhud tanpa menghiraukan lagi bulan madunya bersama istri yang ada dibenaknya adalah surga sudah menantinya.

Di daerah peperangan Uhud kaum muslimin mempertaruhkan nyawa, mempertahankan muru’ah, kemuliaan dan ketinggian Islam, berjihad dengan keberanian dan patriotisme yang tinggi menghadapi pasukan kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sofyan, begitu juga yang dilakukan Hanzhalah, ia mencabut pedangnya lalu merangsak masuk ke tengah-tengah musuh melibas siapa yang mendekatinya tak kenal ampun, melayangkan pedangnya satu demi satu musuhnya terluka bersimbah darah karena tebasan pedangnya.

Kepiawaianya bertarung di medan laga telah terbukti dia merangsak masuk ke tengah-tengah pengawal Abu Sofyan dan langsung berhadapan dengan pemimpin kafir itu bahkan nyaris saja dapat membunuhnya kalau saja dia tidak berteriak minta tolong kepada pasukan kafir Quraisy kemudian teriakan itu didengar oleh Syadad bin Al Aswad yang langsung menikam Hanzhalah dari belakang dengan pedang yang kemudian disusul oleh pasukan Quraisy lainnya dengan menikam dan menombak yang mengakibatkan Hanzhalah jatuh tersungkur dengan bermandikan darah.

Seusai peperangan Abu Amir dan Abu Sofyan mengitari dan mencari data-data kaum muslimin yang terbunuh dalam perang tersebut, ditemukan pula jasad Khariyah bin Abu Suhair pemimpin dari Bani Khazraj dan juga Abbas bin Ubadah bin Fadhlah serta Zakwan bin Abu Qaies bangsawan Yastrib dan juga tentunya mereka menemukan jasad Hanzhalah, yang selanjutnya mereka meneruskan dengan mencincang  dan merusak mayat-mayat tersebut sebagai pengukapan balas dendam mereka terhadap keluarganya yang terbunuh dalam perang Badar dua tahun lalu.

Ayahnyapun kemudian berkata,”Wahai anakku kenapa kamu tidak mengikuti perintahku untuk tidak ikut berperang, ucap Abu Amir dengan penuh kesedihan ”andai kamu mentaati perintahku pasti kamu akan hidup terhormat bersama kaum Aus,’’. Dan Abu Amir memohon kepada orang Quraisy untuk tidak mencincang anaknya, sementara ia sendiri telah mencincang jasad kaum muslimin.

Setelah itu para sahabat menyisir  dan menemukan satu persatu jasad kaum muslimin diantaranya adalah jasad Hamzah bin Abi Thalib yang telah rusak jantungnya tidak ada lagi kemudian juga jasad Hanzhalah yang masih utuh kelihatan segar dan terdapat  air yang menempel di sekujur tubuhnya seperti bekas mandi. Kemudian hal itu disampaikan kepada nabi Muhammad dan Beliau pun mendo’akan sembari melihat ke langit dan berkata kepada para sahabat, ’’Aku melihat malaikat-malaikat sedang memandikan Hanzhalah bin Abu Amir diantara langit dan bumi dengan mempergunakan air Muzn (mendung) yang diambil dari bejana perak.’’

Beliau pun mengutus salah seorang sahabat untuk  mengabarkan kepada istri nya Jamilah binti Abdullah Bin Salul dan menanyakannya apa yang dilakukan Hanzhalah sebelum pergi berperang, istrinya mengatakan,’’ketika mendengar seruan jihad dan sebelum pergi berperang Hanzhalah masih dalam keadaan Junub (janabat) dan belum sempat mandi katanya,”

Berbahagialah Hanzhalah sebagai syuhada yang dimandikan oleh malaikat dia memperoleh kedudukan yang sangat tinggi dan mulia di sisi Allah, itulah sebaik baik tempat dan balasan yang tidak semua orang bisa untuk mencapainya.

Umar bin Khattab: Kesulitan yang Kuhadapi Telah Membuatku Semakin Dekat dengan Rabbku

Wahai lbnul Khaththab, demi Zat yang menggenggam jiwaku, tidaklah setan melihatmu menyusuri satu jalan kecuali ia akan memilih jalan yang lain selain jalanmu (agar tidak berpapasan denganmu).

Al-Faruq adalah julukan bagi Abu Hafsah atau lebih dikenal dengan Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza al-Quraisyi al-Adi.  Umar dilahirkan 13  tahun setelah tahun Gajah (40 tahun sebelum hijrah). Di masa mudanya dikenal dengan kegagahan dan kekuatannya. la memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan kaumnya, karena ia suka menjadi duta dan mediator perdamaian di zaman jahiliyah, sehingga orang Quraisy suka mengirimnya sebagai utusan jika terjadi peperangan diantara mereka, atau dengan suku yang lain.

Kelslamannya

Umar masuk Islam pada tahun keenam setelah kenabian. Khabbab bin al-Arts mengajarkan al-Qur'an kepada Fathimah binti Khaththab dan suaminya, Said bin Zaid. Tapi, mereka dikejutkan oleh kedatangan Umar bin Khaththab yang muncul sambil menyandang pedang yang dibawanya untuk menyelesaikan masalahnya dengan Islam dan Rasulullah saw. Belum sempat Khabbab membaca al-Qur'an yang tertulis diatas lembaran, ia mendengar Umar berteriak: "Beritahukanlah kepadaku di mana Muhammad?"

Khabbab mendengar perkataan Umar, ia lalu keluar dari tempat persembunyiannya dan berteriak: "Wahai Umar, demi Allah, sesungguhnya aku sangat berharap bahwa Allah telah memperuntukkan dirimu (bagi Islam) dengan perantaraan doa Nabi-Nya saw, karena aku mendengar beliau saw berdoa: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu yang lebih Engkau sukai dari dua orang ini: Abul Hakam bin Hisyam ataukah Umar bin Khaththab".

Umar segera bertanya kepada Khabbab bin Arth: "Wahai Khabbab, dimanakah gerangan aku bisa menemui Muhammad?" Khabbab menjawab: "Di bukit Shafa, tepatnya di rumah Arqam bin Abi al-Arqam ". Umar kemudian berlalu menuju takdirnya yang agung.

Ketika tiba di rumah Arqam bin Abi al-Arqam, Rasulullah saw keluar menyambutnya, menggenggam pakaian dan gantungan pedangnya, dan Beliau Saw berkata: "Apakah engkau tidak akan menghentikan tindakanmu selama ini wahai Umar, hingga Allah menurunkan padamu kehinaan dan siksaan sebagaimana yang Dia turunkan pada al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah, inilah Umar bin Kbaththab, Ya Allah, kuatkanlah Islam ini dengan Umar bin Khaththab". Seketika itu juga Umar berkata: "Aku bersaksi, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah. "

Dengan Islamnya Umar bin Khaththab, Islam muncul dengan kuat di Makkah. Disertai Umar kaum Muslimin memasuki  Masjidil Haram, melaksanakan shalat di sekitar Ka'bah tanpa diganggu dan dihalang-halangi oleh kaum Quraisy. Karena itulah Rasulullah saw menyebutnya dengan gelar al-Faruq, karena Allah Swt telah memisahkan antara kebenaran dan kebathilan. 

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Ibnu Umar r.a berkata, “Ketika Umar bin Khattab masuk Islam, maka dia bertanya, “Siapakah di antara orang-orang Quraiys yang paling banyak berkata-kata?” Lalu dijawab,”Jamil bin Ma’mar al Jumahi.“ Maka Umar mendatangi Jamil bin Ma’mar. Ibnu Umar melanjutkan, “Saya pun mengikutinya dari belakang, saya ingin  melihat apa yang dilakukannya. Pada saat itu saya masih kecil, tapi saya dapat mengerti sesuatu yang terjadi.” Umar ra. mendatangi Jamil dan berkata, “Wahai Jamil! Apakah kamu sudah tahu bahwa aku telah masuk Islam, dan telah mengikuti ajaran agama Muhammad saw.?”

Abdullah bin Umar berkata,”Mendengar hal itu, Jamil tidak menjawab, melainkan berdiri, lalu pergi meninggalkannya. Jamil sampai di pintu masjid. Lalu sambil berdiri Jamil berseru dengan suara keras, “Wahai kaum Quraisy, dengarlah! Umar bin Khattab telah menjadi kafir.” Orang-orang Quraisy pun berkumpul di sekeliling ka’bah.  Tiba-tiba dari belakang, Umar berkata,”Dia telah berkata bohong, saya telah masuk Islam dan telah mengucapkan dua kalimah syahadat.” Mendengar hal itu, orang-orang Quraisy menyerang Umar sampai roboh. Lalu Umar bangkit tetapi mereka segera menghajar  Umar kembali sampai roboh, mereka menginjak-injak kepala Umar.

Ketika mereka sedang memukuli Umar, tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian jubah Yaman yang indah mendatangi mereka dan berkata,”Apakah yang sedang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Kami sedang menghajar Umar karena dia telah menjadi kafir.” Orang itu berkata, “Apakah suku bani As’ad akan rela membiarkan perbuatan kalian?” Kemudian orang itu memerintahkan supaya melepaskan Umar.

Ibnu Umar melanjutkan, “Wahai ayah! Pada hari engkau masuk Islam  dan orang-orang Makkah memukulimu, maka ada seseorang datang dan memarahi mereka, kemudian merekapun membiarkan engkau, siapakah orang itu.” Umar menjawab, “Dia adalah Ash bin Wail as Sahmi.”

Kuburan Ahlul Bait yang hanya berisi kepala di Masjid Attibr / Masjid Ibrahim Al Jawwad..

Pada Tanggal 29 Mei 2007, rihlah Muttaqien periode ini mengunjungi sebuah masjid yg didalamnya ada sebuah kuburan ulama besar yaitu SYAIKH IBRAHIM AL JAWWAD, beliau masih keturunan Rasulullah SAW, dari cucunya Imam Hussein puteranya Fatimah Azzahra binti Muhammad SAW.
Sebelum mengupas sejarah beliau, guide kami, Ustadz Aep Saefullah Darusmanwiati.Sag.Lc. mengawali dengan memberikan informasi tentang keberadaan kuburan yang hanya berisi kepala saja..
Di Mesir ini ada 3 kuburan yang hanya berisi kepala saja, semuanya masih keluarga Rasulullah SAW, yaitu : Yang pertama kuburan Imam Hussein, yang berada di Masjid Hussien, samping pasar Khan Khalili, yang kedua kuburan Imam Zaid bin Ali Zainul 'Abidin, yang berada di Masjid Zainul Abidin, daerah Old Cairo, dan yang terakhir Kuburan Ibrahim Al Jawwad yang terletak di Masjid Attibr atau masjid Ibrahim Al Jawwad di daerah Mathoriah.
Kuburan Imam Hussein
Imam Hussein, merupakan cucu Rasulullah SAW. Dalam sejarah kita kenal pada masa kekuasaan Yazid bin Umayyah, khalifah Yazid terkenal zalim, dan ingin menguasai seluruh daerah kekuasaan Islam, dan semua harus tunduk kepadanya, walau pun itu Ahlul Bait, Disebutkan pula bagaimana perjuangan Imam Hussein mengajak umat ke jalan kebenaran dan benci kepada kebathilan, khalifah Yazid sangat benci dan ingin membunuh Imam Hussein, karen takut kekuasaannya berpindah tangan. Dalam kondisi genting seperti, penduduk Kufah (Irak) mengundang sang imam untuk berkunjung ke daerahnya, dan berlindung disana.
Maka berangkatlah Sang Imam bersama dengan seluruh keluarganya, tanpa pasukan, karena untuk menghadiri undangan penduduk Kufah bukan untuk berperang. Rombongan terdiri dari 15 orang laki2 yang turut serta. Ternyata di lembah yang disebut Karbala, pasukan Yazid sudah menunggu, maka dibantailah mereka, dengan menyisakan Sayyidah Zainab (kuburannya ada di mesir juga di masjid Sayyidah Zainab), saudara perempuan  Imam Hussein. Imam Hussein kepalanya di penggal.Kenapa Sayyidah Zainab tidak dibunuh, karena untuk dijadikan  sebagai saksi di depan Yazid, karena bisa jadi Yazid tidak percaya kalau tak ada saksi bahwa kepala yang dia bawa adalah kepala Imam Husein, bisa saja digantikan kepala yang lain yang wajahnya mirip wajah Imam Hussein.
Sayyidah Zainab, adalah puteri dari Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Azzahra (putri Rasullah SAW). Merupakan cucu Rasullah yang namanya mirip dengan bibinya yaitu Zainab, puteri Rasulullah yang menikah dengan orang kafir Quraisy, waktu itu masih di Mekkah. Karena bencinya orang kafir Quraisy terhadap keluarga Rasulullah SAW, Sayyidah Zainab yang waktu itu hamil besar dibunuh dan dikeluarkan si bayi dalam perutnya. Maka karena kecintaan beliau pada puterinya maka cucu perempuannya pun diberi nama ZAINAB. Yang merupakan anak ke tiga pasangan Ali karamawllohu wajhah dan Fatimah Azzahra setelah Imam Hassan dan Imam Hussein.
Sayyidah Zainab, mau dijadikan saksi pembunuhan kakanya, dengan syarat, pasukan Yazid tidak membunuh Ali Zainul Abidin, yang waktu itu masih kecil berusia 9thn an dan dalam kondisi sakit2an. Setelah bertemu dengan Yazid, Dua orang keluarga Rasulullah ini pergi ke Mesir dengan melauli Astsaqolain, daerah Palestina lalu ke Syiria Damascus dan sampailah di Mesir ini.
Pada Tahun 971 Masehi, pada masa pemerintahan syiah Fathimiyyah berkuasa di mesir. Dengan rajanya Al Mursyid Ni'matullah, memboyong kepala Imam Hussein, dan dikuburkan di Masjid Hussein Sekarang.        
Mencintai Ahlul Bait bukan kewajiban para kaum syiah saja tetapi seluruh umat Islam karena hadistnya Shohih Riwayat Imam Bukhori Muslim. Perintahnya Cintailah Ahlul Bait..Matan hadistnya saya tidak begitu jelas kemarin.
Kuburan ini sudah dibuktikan keberadaannya oleh para sejarawan, ketika thn 1900an para sejarawan diundang oleh mufti untuk menyaksikan kuburan Imam Hussein. Sejarawan Mohammad Zaki menulis dalam bukunya dia melihat dengan kepala sendiri bahwa benar kuburan itu hanya berisi kepala Imam Hussein saja.
Kuburan Imam Zaid bin Ali Zainul Abidin
Kalau kita mengunjungi Madinah, sebelah masjid Nabawi ada kuburan Baqi, dimana dikuburkan seluruh keluarga Rasulullah SAW. Diantaranya Aisyah (isteri beliau), Hassan (cucu beliau), Fatimah Azzahra, juga anak2 beliau yang lainnya.
Kita melihat disitu ada gundukan yang ditinggikan, yang terkenal dengan sebutan ASSYUHADA ALHUROH, kuburan orang2 yang meningga gugur waktu berperang melawan Bani Ummayah. Salah satunya adalah cucu Imam Hussein, yaitu IMAM ZAID BIN ALI ZAINUL ABIDIN, ayahnya Ali Zainul Abidin adalah satu2nya generasi Imam Hussein yang tertinggal di pembantaian KARBALA.
Pada peperangan melawan Bani Umayyah yang zalim itu, Imam Zaid mengajak umat Islam untuk berperang. Mestinya kemenagan sudah di tangan, tapi pasukan Bani Umayyah sangat gencar perlawanannya. Akhirnya meninggallah Imam Zaid. Jenazahnya di penggal, bagian badan di bakar di depan Masjid Nabawi. Sementara itu kepalanya digantung tepat di pintu Jibril, Masjid Nabawi. Maksudnya untuk nakut2i, agar orang2 tidak boleh berontak terhadap kekuasaan khalifah.
Pada waktu haji, rombongan haji dari Mesir yang sangat mencintai Ahlul Bait, mencuri kepala tersebut dan dikuburkan disamping ayahandanya sang Imam di Masjid Zainul Abidin. Pada tahun kemarin kita berkunjung kesana..
Kuburan Syaikh Ibrahim Al Jawwad
Pada masa pemerintahan awal Abbasiyah juga masih keturunan Ahlul Bait. Bahkan Khalifah Abbas sendiri bilang bahwa yang berhak menggantikannya adlah dari golongan ahlul bait. Tapi keturunannya tidak mau, karena sudah enak dan senang menduduki kekuasaan kali ya. Mereka menginginkan, hanya dari keluarga Abbas saja yang berhak meneruskan kekuasaan.
Ibrahim Al Jawaad masih keturunan Ahlul Bait dari Imam Hussein juga. Ibrahim Al Jawwad bin Abdullah Alma'sum bin Zaid Al Ablag bin Ali Zainul Abidin bin Hussein bin Ali R.a. Ibrahim al Jawwad adalah adik dari Mohammad Nafi' Azzaidun, keduanya tersohor karena kesholehannya, walaupun waktu itu sudah ada, Massa Al Qodim dan Ja'far Ashodiq, dari keluarga Ahlu Bait, tapi mereka Moh. Nafi' dan Ibrahim sangat alim dibandingkan keduanya. Maka mereka lebih berhak untuk menjadi pemimpin kekhalifahan masa itu.
Karena dianggap mengganggu kelangsungan pemerintahannya dia, maka Al Mansyur Al Abbasiyah, memerintahkan untuk menangkap mereka. Lalu sembunyilah kedua kaka beradik itu. Untuk bisa menangkap mereka, di tangkaplah ayah mereka disiksa dan di bunuh, akhirnya Mohammad Nafi' tertangkap karena keluar tidak tega terhadap ayahnya, namun ternyata dibunuh juga dan dipancung. Maka larilah Ibrahim Al Jawwad ke Kufah lalu sembunyi dan mengatur strategi dan kekuatan pasukan 10 ribu orang untuk memerangi Al Mansyur Al Abbasiyyah.
Kekuatan itu begitu banyak, karena orang2 sudah tidak suka dengan khalifah yang zalim tersebut. Menurut ahli sejarah, jika Ibrahim punya siasat yang mantap, saat itu bisa menang. Akhirnya karena kalah strategi maka kalahlah Ibrahim beserta pasukannya. Terbunuhlah beliau dan dipenggal kepalanya, digantung di Masjid Amr bin Ash.
Karena takut jenazahnya dirusak, maka orang-orang membawa kepala  Syaikh Ibrahim ke Mathoriah karena dianggap aman, jauh dari pusat kekuasaan Gubernur Abbasiyah, waktu itu di daerah Fustat (Old Cairo).
Syaikh Ibrahim Al Jawwad sangat terkenal kesholehan dan kealimanya. Gemar melakukan puasa dan shodaqoh. Beliau sangat dermawan memelihara lebih 100 anak yatim, padahal dia tak punya pekerjaan, lalu darimana dia dapatka itu semua? Allah mencukupi itu semuanya. Dan ketika mendapat harta  1/3nya saja dia ambil selebihnya dia bagikan seluruhnya kepada seluruh penduduk madinah dan Kufah (Irak).
Dalam bukunya , sejarawan mesir Su'ad Maher menggambarkan keadaan masjid Ibrahim dulunya sangat luas, dilengkapi dengan kamar2 pelajar yang menimba ilmu. Sebagai pusat ilmu ke dua setelah Masjid Sultan Hasan. Tapi sekarang sangat kecil terpotong oleh rumah2 penduduk.
Mudah2an menjadi hikmah kita bahwa ternyata dari dulu kekuasaan selalu menumppahkan darah, maka jadikan kekuasaan itu hanya milik Allah SWT, ketika diberi amanah kekuasaan kita bisa kembali ke Allah SWT. Dan menjalankannya dengan tenang..
Kalau ada salah mohon ralat karena keterbatasan ilmu dari saya...

Minyak Zaitun

“Konsumsilah minyak zaitun dan gunakan sebagai minyak rambut, karena minyak zaitun dibuat dari pohon yang penuh berkah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Fungsi minyak zaitun:

1. Mengurangi kolesterol berbahaya tanpa mengurangi kandungan kolesterol yang bermanfaat.
2. Mengurangi risiko penyumbatan (trombosis) dan penebalan (ateriosklerosis) pembuluh darah.
3. Mengurangi pemakaian obat-obatan penurun tekanan darah tinggi.
4. Mengurangi serangan kanker.
5. Melindungi dari serangan kanker payudara. Sesendok makan minyak zaitun setiap hari mengurangi risiko kanker payudara sampai pada kadar 45%.
6. Menurunkan risiko kanker rahim sampai 26%.
7. Pengkonsumsian buah-buahan, sayuran, dan minyak zaitun memiliki peran penting dalam melindungi tubuh dari kanker kolon.
8. Penggunaan minyak zaitun sebagai krim kulit setelah berenang melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma)
9. Berpengaruh positif melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi risiko tukak lambung.
10. Mengandung lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi manusia seperti yang terdapat dalam ASI.
11. Penggunaan sebagai minyak rambut mampu membunuh kutu dalam waktu beberapa jam saja.

Setiap penyakit itu ada obatnya, seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Setiap kali Allah menurunkan penyakit, Allah pasti menurunkan penyembuhnya. Hanya saja ada orang yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang pesat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui dan menerapkan pengobatan yang terbukti kemanjurannya.

77 Sahabat Dan 1 Imam -Sang Penyejuk Mata Rasulillah Saw- di Karbala

Fajar mulai tampak di ufuk, pertanda subuh akan segera datang untuk mengusir kegelapan malam. Perkemahan hamba-hamba Allah mulai disibukkan oleh datangnya pagi.
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Fajar perlahan-lahan menghamparkan dirinya di padang Karbala dan menyajikan warna perak di sungai Furat. Inilah saatnya untuk melaksanakan penghambaan kepada sang Maha Pencipta. Imam Husein AS dan para pengikutnya yang setia berdiri menghadap kiblat menunjukkan kepatuhan kepada Tuhan dengan melaksanakan perintah shalat. Usai shalat, beliau berdiri untuk menyampaikan beberapa patah kata di hadapan para sahabatnya.  Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah, beliau berkata, “Tuhan berkehendak untuk memerintahkan jihad kepada kita. Sudah menjadi ketentuan-Nya bahwa kita semua akan gugur sebagai syahid. Karenanya, bersabarlah menyongsong jihad melawan kekafiran ini.”
Pagi itu, Imam Husein AS mengatur barisan pasukannya yang berjumlah 77 orang. Pasukan sekecil itu diaturnya sedemikian rapi hingga menyerupai sebuah lasykar besar. Zuhair bin Qain mendapatkan tugas di bagian kanan, sedangkan Habib bin Madhahir ditempatkan di kiri. Bendera perang beliau serahkan kepada Abbas, adiknya.  Sedangkan Imam Husien sendiri berada di tengah barisan pasukan bersama sanak keluarganya.
Sebagai langkah awal pertahanan, pasukan suci itu membakar kayu-kayu yang ada di balik parit yang memisahkan mereka dengan pasukan musuh. Dengan cara itu mereka membuat sebuah kubu pertahanan yang kuat, sehingga tidak lagi disibukkan untuk menjaga perkemahan.
Tak lama kemudian, pasukan musuh mulai bergerak maju. Umar bin Saad dengan pasukannya yang berjumlah 30 ribu orang menempatkan Umar bin Hajjaj di bagian kanan dan Syimr bin Dzil Jausyan di bagian kiri. Komandan pasukan Ibnu Ziyad itu memerintahkan Azrah bin Qais untuk memimpin pasukan berkuda. Pasukan pejalan kaki dipimpin oleh Syabats bin Rab`i. Sedangkan bendera perang pasukan dipegang oleh Zubaib, budak Umar bin Saad. Serangan ke arah kamp Imam Husein AS dilancarkan. Pasukan Ibnu Ziyad yang berencana menyerang dari belakang terpaksa mengurungkan niat karena berhadapan dengan api yang disulut oleh sahabat-sahabat Imam Husien. Dengan kesal dan kemarahan memuncak, Syimr menyeringai, “Hai Husein, rupanya kau tidak sabar untuk merasakan neraka sehingga buru-buru menyalakannya di dunia.”
“Siapa dia,” tanya Imam. “Aku rasa dia adalah Syimr bin Dzil Jausyan” lanjut beliau. “Ya, dia adalah Syimr,” jawab para sahabat Imam Husien. “Hei Syimr, engkau lebih layak masuk ke neraka dari pada aku.”
Muslim bin Ausajah maju dan meminta izin dari Imam Husein untuk membidikkan anak panahnya ke arah Syimr. Imam melarang dan mengatakan, “Aku tidak ingin menjadi pihak yang memulai.”  
Imam Husein memandang ke arah pasukan Bani Umayyah, lalu mengangkat tangannya ke atas dan berdoa, “Ya Allah, Husein-Mu selalu bertawakkal dan menyerahkan diri kepadaMu. Engkaulah harapanku saat menghadapi kesulitan. Aku menyerahkan segalanya kepadaMu. Ya Allah betapa banyak masalah yang Engkau selesaikan setelah aku menyerahkannya kepadaMu. Betapa banyak kesulitan yang meluluhkan orang perkasa sekalipun menjadi mudah bagiku saat aku mengajukannya ke hadiratMu. Ya Allah, sekarang inipun aku menyerahkan diriku dan segala urusanku kepadaMu.  
Setelah itu, Imam Husein AS meminta kudanya yang bernama Dzul Janah dan melesat ke arah barisan pasukan Kufah. Persis di hadapan mereka beliau berhenti dan mengatakan: “Wahai kalian semua! Jangan terburu-buru dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pikirkan sejenak dan dengarkanlah kata-kata dan nasehatku. Sebab kalian berhak untuk mendengarnya dariku. Jika kalian mau mendengar dan memikirkannya, jalan kebahagiaan akan terbentang di hadapan kalian. Jika tidak lakukanlah apa yang kalian maukan dan selesaikanlah urusan ini secepatnya. Ketahuilah bahwa Allah adalah Tuanku. Dialah yang menurunkan kitab suci dan melindungi hamba-hambaNya.”
Suara tangis histeris mengiringi kata-kata Imam Husein, sehingga beliau meminta adiknya, Abul Fadhl Abbas untuk mendiamkan mereka dan berkata: “Abbas, suruh mereka berhenti sebab masih banyak musibah yang akan mereka alami dan masih banyak kesempatan untuk menguras air mata.”
Setelah suara tangisan reda, beliau meneruskan: “Maha suci Allah yang telah menjadikan dunia sebagai tempat kefanaan dan menjadikan umat manusia sebagai penonton perubahan yang terjadi di dalamnya. Karenanya, siapa saja yang melihat dunia bagai sesuatu yang agung berarti dia telah menipu dirinya sendiri. Barang siapa yang terjebak di dalam tipudaya dunia, hanya kesengsaraanlah yang dia dapatkan. Karenanya, jangan biarkan dunia menipu kalian! Sebab dunia akan mengandaskan seluruh harapan dan angan-angan pecintanya. Mengapa kalian cenderung mengikuti orang-orang yang hanya akan menjerumuskan kalian ke dalam murka dan amarah Allah? Betapa Allah maha baik dan bijaksana dan betapa buruknya kalian sebagai hamba-Nya. Wahai kalian yang mengakui ketuhanan-Nya dan mengaku beriman kepada Nabi-Nya. Untuk apa kalian mesti memerangi keluarga Rasul? Sungguh syaitan telah merasuki jiwa dan pikiran kalian. Semoga Allah mengandaskan seluruh angan-angan kalian. Wahai warga Kufah, pikirkan benar-benar siapakah diriku? Bukankah aku anak putri Nabi? Bukankah aku putra washi Rasul? Bukankah aku putra orang yang pertama memeluk agama Islam? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah paman ayahku? Bukankah Ja’far Thayyar, pamanku? Lupakah kalian akan sabda Nabi tentang diriku dan saudaraku? Lupakah kalian akan sabda Nabi bahwa Hasan dan Husein adalah penghulu pemuda surga? Apakah kalian mengira aku berdusta? Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah mengotori lidah ini dengan kata-kata dusta. Jika kalian tidak percaya tanyakan kepada Jabir bin Abdillah Al-Anshari, Abu Said Al-Khudri, Sahl bin Sa’d As-Saidi,  Zaid bin Arqam atau Anas bin Malik. Mereka akan memberitahu kalian akan kebenaran kata-kataku. Semoga sabda Nabi mengenai kami bisa mencegah kalian dari niat menzalimi kami.”
Tiba-tiba Syimr bin Dzil Jausyan memotong kata-kata beliau dengan berseru:  “Hei Husein! Aku pasti akan ragu menyembah Tuhan jika aku tahu kebenaran kata-katamu”
Celoteh Syimr dijawab oleh Habib bin Madhahir: “Hei Syimr! Demi Allah, selama ini engkau beribadah dengan keraguan yang menguasai jiwa dan pikiranmu. Aku tahu benar bahwa engkau tidak akan memahami apa yang dikatakan oleh tuanku, Husein. Sebab Allah telah membuat hatimu sekeras batu.”
Imam melanjutkan: “Jika kalian masih ragu, apakah kalian meragukan bahwa aku adalah anak dari putri Nabi kalian? Demi Allah kalian tidak akan menemukan cucu Nabi di dunia ini selain diriku. Celaka kalian! Apakah aku telah membunuh salah seorang dari kalian, sehingga kalian datang untuk menuntut balas dariku? Apakah aku telah merampas harta kalian sehingga kalian menghunus pedang terhadapku?”
Semua diam membisu, tak terkecuali Syimr.
Imam Husein AS lantas memanggil beberapa orang dari barisan musuh: “Wahai Syabats bin Rab`i, Hajjar bin Abjad, Qais bin Asy’ats, Zaid bin Haritsah! Bukankah kalian yang menulis surat kepadaku untuk datang dengan mengatakan bahwa buah-buah telah masak dan siap dipetik, dan seluruh warga Kufah akan menjadi bala tentaraku? Apakah kalian sudah lupa kepada janji dan sumpah setia kalian?”
Semuanya membantah pernah menulis surat itu kepada Al-Husein. Beliau menjawab: “Demi Allah kalian telah menulis surat itu.”
Qais bin Asy’ats menyergah: “Kami tidak tahu apa yang kau maksudkan. Jalan terbaik bagimu adalah menyerah dan menerima kekuasaan Bani Umayyah. Mereka pasti akan memberimu hadiah sebanyak yang kau inginkan. Mereka tidak akan mencelakakanmu.”
(Al-Husein): “Hei Qais! Apakah engkau mengira bahwa Bani Hasyim akan menuntut darah orang selain Muslim bin Aqil darimu? Demi Allah aku tidak akan mengulurkan tangan kepada para tuanmu. Aku juga tidak akan pernah takut menghadapi peperangan. Karena aku hanya berlindung kepada Allah, Tuhanku.”
Imam Husein AS turun dari punggung kuda dan memberikan tali kekangnya kepada Uqbah bin Salman. Kata-kata dan nasehat Imam dibalas dengan lemparan tombak oleh pasukan Kufah.
Tak lama kemudian, seorang bernama Abdullah bin Hauzah At-Tamimi dengan suara lantang berseru: “Hei kelompok Khawarij, adakah Husein di antara kalian?”
Para sahabat Imam menjawab: “Ya, Husein di sini. Apa maumu?”
Ibn Hauzah kembali berseru: “Hai Husein! berbahagailah karena sebentar lagi engkau akan masuk neraka.”
Imam menjawab: “Aku akan segera bertemu dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Siapakah engkau?”
Abdullah menjawab: “Aku adalah anak Hauzah At-Tamimi.”
Imam Husein lantas mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah kirimlah ia ke neraka.”
Mendengar doa Imam Husein, Abdullah marah dan serta merta menghentakkan kudanya menuju beliau. Mendadak kuda yang dinaikinya terbentur batu dan jatuh sehingga membuat penunggangnya terpental ke tanah dengan kaki yang masih terikat di tubuh kuda. Kuda itu bangkit dan berlari kesana-kemari menyeret penunggangnya. Tak ayal, tubuh dan kepala Abdullah At-Tamimi berkali-kali membentur bebatuan sahara Karbala. Abdullah tewas secara mengenaskan dan Allah telah mengirimnya ke neraka. Mas’ud bin Wail Al-Hadhrami yang berada di barisan depan pasukan berkuda pimpinan Umar bin Sa’ad menyaksikan kejadian itu dari dekat. Tanpa banyak berpikir, dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan pasukan Kufah. Dalam hati dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan pernah memerangi keluarga Nabi. Sebab mereka memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.”
Zuhair bin Al-Qain mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk berbicara dengan pasukan Kufah. Imam mengizinkan. Sahabat setia Imam Husein itu segera bangkit dan berdiri menghadap pasukan musuh. Dengan suara lantang, Zuhair berseru: “Wahai warga Kufah! Takutlah kalian akan azab Allah. Aku berdiri di sini untuk menyampaikan nasehat kepada kalian, sebab kalian memiliki hak untuk mendengarkannya dariku. Sampai saat ini, kita masih terikat dalam persaudaraan seagama. Tali ikatan ini tetap ada selama pedang belum memisahkannya. Tetapi ketika pedang sudah berbicara, kita akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda. Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan keluarga Rasul-Nya sebagai ujian bagi kalian, bagaimana kalian memperlakukan mereka. Allah telah melarang kalian untuk tunduk dan patuh kepada kaum durjana seperti Yazid dan Ubadillah bin Ziyad. Dia pulalah yang memerintahkan kalian untuk membela anak cucu Rasulullah. Jika tidak, tak lama lagi kaum durjana itu akan mencungkil mata kalian, memotong kaki dan tangan kalian serta menggantung tubuh kalian di batang korma.”
Nasehat Zuhair dibalas dengan makian. Pasukan Kufah tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan medan perang sebelum berhasil membantai Imam Husein dan para sahabatnya atau membawa mereka dengan tangan terbelenggu kepada Ibnu Ziyad.
Zuhair kembali angkat suara: “Demi Allah, anak-anak Fathimah lebih baik untuk dicintai dan dibela daripada anak Sumaiyyah. Jika enggan membela Husein, sebaiknya kalian tinggalkan medan ini.”
Tiba-tiba sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan melesat ke arah Zuhair. “Diam kau,” hardik Syimr. “Kata-katamu membuat kami lelah.”
Kepada Syimr, Zuhair bin Al-Qain berkata: “Hei Syimr! aku tidak berbicara denganmu. Sebab kau tak lebih dari seekor binatang. Demi Allah, aku menduga bahwa engkau tidak memahami satu ayatpun dari Al-Qur’an. Tunggulah kehinaanmu di hari kiamat kelak.”
Lagi-lagi Syimr berujar: “Sebentar lagi Tuhan akan membunuhmu bersama tuanmu itu.”
Zuhair menjawab: “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Demi Allah kematian bersama Husein lebih menyenangkan dari hidup bersama kalian.” Zuhair kembali mengarahkan pembicaraannya kepada pasukan Kufah: “Wahai hamba-hamba Allah, sadarlah, jangan sampai orang ini menjauhkan kalian dari agama Allah! Demi Tuhan, syafaat keluarga Muhammad tidak akan didapatkan oleh mereka yang membunuh anak cucu Rasul dan membantai para pembela mereka.”
Salah seorang sahabat Imam Husein berkata kepada Zuhair: “Wahai Zuhair, sungguh engkau bagaikan seorang Mu’min berada di keluarga Fir’aun dengan memberikan nasehatmu kepada mereka. Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang baik.”
Burair bin Khudhair adalah seorang berusai lanjut yang dikenal zuhud, ahli ibadah, qari’ terkenal di kota Kufah dan sangat dihormati oleh kabilah Bani Hamdan. Burair meminta izin Imam Husein untuk berbicara dengan pasukan Kufah yang sudah gelap mata. Setelah mendapat restu dari cucu Nabi itu, Burair mengatakan: “Wahai penduduk Kufah, Allah telah mengutus Muhammad untuk menunjukkan agama yang lurus. Beliau telah memberikan petunjuk dan mengajak umat kepada jalan Allah. Risalahnya bagaikan pelita yang menerangi kegelapan. Ketahuilah bahwa mereka yang kini berada di hadapan kalian adalah anak cucu sang Nabi. Karenanya, dengan alasan apakah kalian menghalang mereka mengambil air sungai Furat?”
 
Pasukan Kufah menjawab: “Hei Burair! singkat saja, kami bersumpah untuk membuat Husein kehausan dan merasakan dahaga yang tidak akan pernah dialami oleh orang selain dia.”
 
Burair kembali mengingatkan mereka: “Risalah dan pesan kenabian ada di tengah-tengah kalian yaitu keluarganya. Karena itu, pikirkan bagaimana kalian mesti bersikap terhadap mereka.”
 
Pasukan Ibnu Ziyad menjawab: “Yang kami inginkan adalah Husein mau tunduk kepada perintah gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad.”
“Celaka kalian,” sergah Burair. “Lupakah kalian bahwa kalian telah menulis surat kepada junjunganku Husein dan menyatakan sumpah setia untuk berkorban demi beliau? Saat ini setelah Husein bersedia menjawab panggilan itu dan datang bersama sahabat-sahabatnya untuk memenuhi ajakan kalian, kalian malah menjual mereka kepada Ibnu Ziyad! Alangkah buruknya perlakuan kalian terhadap anak cucu Rasulullah. Semoga Allah membuat kalian kehausan di hari pembalasan nanti.”
 
Terdengar celoteh dari barisan musuh: “Hei Burair, kami tidak mengerti apa yang kau katakan.” Burair menjawab: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukkan kepadaku siapakah kalian sebenarnya. Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan mereka. Tuhanku, balaslah kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ini dengan kehinaan saat mereka menghadap-Mu dan jatuhkanlah laknat dan kemurkaan-Mu atas mereka.”
Setelah Burair berhenti berbicara puluhan anak panah menerjah ke arahnya. Burair kembali ke posisinya semula di barisan Imam Husein AS.
 
 
Imam Husein meminta kudanya. Setelah duduk di atas punggung kuda, beliau kembali menghadap pasukan Kufah. Sambil meletakkan sebuah naskah Al-Qur’an di  atas kepalanya Imam Husein berkata: “Wahai penduduk Kufah, antara kita ada kitab suci Tuhan dan sunnah kakekku Rasulullah. Tahukah kalian bahwa pakaian yang melekat di tubuhku ini adalah pakaian Nabi? Tahukah kalian bahwa pedang dan perisai yang aku bawa adalah milik kakekku, Rasululah?”
 
Pasukan musuh membenarkan kata-kata Imam Husein. Menyaksikan itu beliau bertanya: “Kalau begitu, apa alasan kalian memerangiku?”
 
“Ketaatan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad,” jawab mereka.
 
Mendengar jawaban itu, Imam berkata, “Celaka kalian yang telah berbaiat kepada orang seperti dia dan mengacungkan pedang ke arah kami. Celaka kalian yang memilih untuk menjadi pembela musuh-musuh Allah yang tidak akan berlaku adil terhadap kalian. Mengapa kalian justeru memerangi keluarga Rasul di saat pedang kaum durjana menguasai kalian dan untuk selanjutnya orang-orang zalim itu akan mengotori dunia dengan kezaliman mereka. Celakalah kalian yang telah mencampakkan kitabullah dan mengubah-ubah kandungannya. Mengapa kalian patuh kepada para pengikut syaitan, pendosa, durjana dan pelanggar ajaran Rasul? Mengapa kalian justeru mengikuti mereka serta meninggalkan dan tidak membela kami, keluarga Rasul? Demi Allah, bukan kali ini saja kalian melanggar sumpah setia. Kehidupan kalian sarat dengan pengkhianatan yang telah menyatu dengan kepribadian kalian. Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu. Kini aku bersama sanak keluarga dan sahabat-sahabatku yang berjumlah kecil ini bangkit untuk berjuang di jalan Allah dan siap untuk meneguk cawan syahadah. Wahai penduduk Kufah, ketahuilah bahwa setelah ini kalian tidak akan hidup lama. Inilah yang diberitahukan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah. Wahai warga Kufah! pikirkanlah untuk selanjutnya selesaikan segera urusan  ini. Ketahuilah bahwa Husein hanya berharap kepada Allah yang Maha Besar, sebab tak ada satupun makhluk yang hidup, kecuali seluruh urusan dan kehidupannya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
 
Kemudian Imam Husein membawakan bait-bait syair Farwat bin Masik Al-Muradi, salah seorang sahabat Nabi:
“Wahai kalian semua, jika kami menang itu sudah tradisi. Namun jika kami hancur ketahuilah bahwa kami tidak akan kalah. Jika kami berhasil membunuh, kemenangan ada pada kami, dan jika kami terbunuh kami tetap menang. Kami bukanlah pengecut dan berhati lemah. Kami adalah jawara dan pemberani. Jika kami terbunuh berarti itulah saat kesyahidan dan pengorbanan kami. Ketika kematian tidak menjemput suatu kaum, berarti ketika itu ia sedang merenggut kaum yang lain.”
“Inilah hari yang ditentukan bagi kami dan para pembela kami. Jika para tokoh dunia kekal kamipun pasti akan kekal, sebab kami adalah pemuka umat manusia. Jika para pemimpin meninggalkan dunia ini menuju ke alam keabadian, kamipun juga akan berjalan menuju ke sana.”
 
Imam Husein mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, jangan kau siramkan hujan rahmat-Mu kepada kaum ini. Buatlah mereka hidup di bawah kekuasaan para durjana. Dudukkanlah budak dari Bani Tsaqif itu untuk menguasai mereka dan memberi mereka rasa kehinaan. Engkau tahu bahwa Husein selalu berserah diri dan bertawakkal kepadaMu.  Engkaulah tempat kami semua kembali.”
 
Imam mengarahkan pembicaraannya kepada komandan pasukan musuh, Umar bin Saad: “Hei Umar! Apa engkau mengira dengan membunuhku engkau akan diangkat menjadi gubernur Rey dan Gurgan? Demi Allah engkau tidak akan mendapatkan impian itu. Kini lakukan apa maumu. Tapi ingat, bahwa setelah kematianku, engkau tidak akan mengalami saat bahagia sama sekali. Aku menyaksikan anak-anak kecil di Kufah yang bermain-main dan melempari kepalamu.”
 
Umar bin Saad naik pitam.
Hurr bin Yazid Ar-Riyahi berdiri di sisi Umar bin Sa’ad dan mendengarkan kata-kata Imam Husein dengan seksama. Dia melirik ke arah Ibnu Saad dan berkata: “Hei Ibnu Saad! Apakah engkau memang berniat membantai Husein?”
“Ya,” jawab Umar. “Demi Allah aku akan menggempur kelompok itu, setidaknya aku bisa memenggal kepala dan memotong tangan Husein.”
Hurr bertanya lagi: “Apakah engkau sudah memikirkan apa yang dikatakan Husein tadi?”
Ibnu saad menjawab: “Ya. Jika aku bisa, tentu aku akan menerima kata-katanya. Tapi Ubaidullah bin Ziyad menekankan untuk menghabisinya. Aku tidak punya pilihan lain.”
 
Hurr memalingkan pandangan ke arah orang-orang di sekitarnya. Pandangannya tertumpu kepada Qurrah bin Qais yang berada di sampingnya. Kepadanya Hurr berkata, “Hei Qurrah, sudahkah engkau memberi minum kudamu?” “Belum,” jawabnya.
Hurr berkata lagi, “Apakah engkau tidak mau memberinya minum?”
Kata-kata Hurr dicermati oleh Qurrah. Ia bisa menangkap maksud Hurr. Qurrah menduga bahwa Hurr berniat memisahkan diri dari barisan pimpinan Umar bin Saad tanpa harus diketahui orang lain.
 
Secepat kilat Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan ia dihadang oleh Muhajir bin Aus. Muhajir berseru memanggil Hurr, “Hei Hurr, apakah engkau berniat menyerang Husein sekarang?”
Muhajir yang menyaksikan tubuh Hurr yang menggigil dan wajahnya yang pucat pasi bertanya, “Hurr, Ada apa denganmu? Mengapa badanmu gemeter seperti ini. Padahal jika ada yang bertanya kepadaku siapakah jawara Kufah aku pasti akan menyebutkan namamu?”
Hurr menjawab: “Muhajir, aku berada di persimpangan jalan, jalan ke surga dan jalan  ke neraka, dan aku harus memilih salah satunya. Demi Allah aku hanya menginginkan surga meski harus dibakar hidup-hidup.” Selepas mengucapkan kata-kata itu, Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husien AS dengan kepala tertunduk malu. 
 
Dengan airmata yang membasahi pipinya, Hurr berseru, “Ya Allah, aku datang untuk menebus semua kesalahanku dan bertaubat kepada-Mu. Terimalah taubatku ini. Akulah yang telah melukai hati sanak kelurga Rasul.” Kepada Imam Husein AS, Hurr mengatakan, “Aku menyesali semua kesalahanku. Apakah taubatku bisa diterima? Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu.”
 
Imam menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu.” Hurr berkata lagi, “Saat meninggalkan Kufah, aku mendengar suara yang memberiku kabar gembira akan surga. Dan kini aku berkata sendiri dalam hati, celaka aku yang telah diberi kabar gembira tentang surga tapi berniat memerangi cucu Rasulullah.”
 
Imam kembali berkata, “Engkau beruntung. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” Hurr meminta izin untuk pergi ke medan dan berbicara dengan pasukan Kufah. Imam Husein mengizinkan. Hurr maju ke arah pasukan Ibnu Saad dan dengan suara lantang mengatakan, “Celaka kalian wahai penduduk Kufah! Kalianlah yang telah memanggil cucu Rasul untuk datang kepada kalian. Kalian mengaku bersedia mengorbankan jiwa untuknya. Tapi kini di saat beliau datang memenuhi panggilan kalian, kalian malah menyambutnya dengan pedang terhunus. Kalian memperlakukannya bagai tawanan perang dan menutup air untuk beliau dan keluarganya. Betapa buruknya kalian yang memperlakukan cucu Nabi sedemikian keji. Semoga Tuhan tidak menghilangkan dahaga kalian.”
 
Tiba-tiba sekelompok penunggang kuda keluar dari barisan pasukan Kufah dan menyerang Hurr. Hurr mundur dan menggabungkan diri dengan barisan Imam Husein AS, sebab beliau melarang sahabat-sahabatnya untuk memulai pertempuran.
 
Syimr maju ke arah barisan Imam Husein dan berseru, “Di mana anak-anak saudariku? Di mana Abbas dan adik-adiknya?” Mereka menolak untuk memenuhi panggilan Syimr. Kepada mereka Imam Husein berkata, “Penuhi panggilannya, meski dia seorang fasik.” “Hei Syimr, apa maumu?”
“Kalian adalah anak-anak saudara perempuanku. Aku akan memberi kalian keselamatan. Jangan binasakan diri sendiri. Tunduklah kepada Yazid.”
Abbas yang dikenal dengan Abul Fadhl dan saudara seayah Imam Husein menjawab, “Semoga Allah melaknatmu dan melaknat keselamatan yang kau janjikan itu. Semudah itukah engkau memberi kami keselamatan sedangkan jiwa Husein, putra Rasulullah tidak selamat? Kau menginginkan kami meninggalkannya dan tunduk kepada orang-orang terkutuk itu? Betapa kotornya pikiranmu!”
 
 
Drama padang Karbala memasuki babak baru. Umar bin Sa’ad maju mendekat ke arah perkemahan Imam Husein AS. Perlahan-lahan, dia meletakkan anak panah di busurnya dan membidikkannya ke arah pasukan suci itu. Anak panah melesat ke sasaran. Umar bin Saad berseru, “Wahai penduduk Kufah, saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah ke pasukan Husein. Sampaikan hal ini kepada gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad!”
 
Menyusul aksi Ibnu Sa’ad, pasukan Kufah menghujani kamp Imam Husein dengan anak panah. Tak ada sahabat Imam Husein yang selamat dari serangan itu. Imam dengan mantap menyuruh mereka untuk bergegas menyambut kesyahidan dan berkata, “Bangkitlah wahai para pembela agama Allah. Songsonglah syahadah yang telah menjadi bagian kita. Anak-anak panah ini adalah pesan yang mereka kirim.”
 
Para sahabat Imam Husein segera bangkit menyerang pasukan musuh. Pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Ratusan pedang dan tombak menari-nari di medan medan laga. Beberapa saat kemudian bentrokan berhenti. Debu-debu yang bertaburan mulai kembali ke posisi semula. Tampak lima puluh orang sahabat Imam Husein jatuh bergelimang darah.
 
Yasar budak Ziyad dan Salim budak Ubaidillah bin Yazid datang ke medan laga dan menantang Habib bin Madhahir dan Burair bin Hudhair untuk duel. Imam tidak mengizinkan kedua sahabatnya itu untuk maju memenuhi tantangan tersebut. Dari dalam barisan pasukan Imam, Abdullah bin Umair Al-Kalbi yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, “Dia adalah prajurit yang mahir di medan laga.”
 
Melihat sahabat Imam itu, Yasar dan Salim bertanya, “Siapa kau?” Dengan melantunkan beberapa bait syair, Abdullah mengenalkan dirinya. Yasar dan Salim menyahut, “Kami tidak mengenalmu. Biarkan Zuhair, Habib atau Burair yang datang untuk berduel dengan kami.”
“Apakah kalian takut berhadapan denganku?” Kata-kata Abdullah membakar emosi mereka berdua. Salim menyerang. Duel antara Abdullah dan Salim berlangsung seru. Yasar secara diam-diam menyerang Abdullah dari belakang. Para sahabat Imam Husein berseru, “Hati-hati, Abdullah!” Salim memutar pedangnya dan mengayunkannya ke arah sahabat Imam itu. Abdullah menangkisnya dengan tangan kiri. Tak ayal pedang Salim memisahkan jar-jari tangan Abdullah dari badannya. Pukulan Salim dibalas dengan pukulan pedang. Salim terjerembab bermandikan darah. Abdullah kembali ke kemah Imam Husein. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang lantas mendorongnya untuk kembali ke medan laga. “Abdullah, kembalilah ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah,” ujar sang istri. “Bukankah beberapa saat lalu, engkau mencegahku untuk berkorban demi Husein? Mengapa kini engkau juga ingin terjun ke medan tempur?” tanya Abdullah. Sang istri menjawab, “Jangan kau salahkan diriku. Baru saja aku mendengar Imam Husein mengatakan sesuatu?” “Apa yang beliau katakan?” tanya Abdullah. “Beberapa saat tadi aku mendengar Husein berkata, “Ah, betapa sedikitnya orang yang mau membelaku.”
 
Kepada Imam Husein, Abdullah berkata, “Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku supaya kembali ke kemah.” Imam memerintahkan istri Abdullah untuk kembali dan mengatakan, “Allah membalas jasa baik kalian yang telah membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah tidak memerintahkan wanita untuk berperang.”
 
Sekonyong-konyong, Umar bin Khalid As-Saidawi bersama budaknya yang bernama Sa’ad, Jabir bin Haris dan Majma’ bin Abdillah Al-Haizi secara serentak maju menyerang pasukan Kufah dan mengobrak-abrik barisan mereka. Tebasan pedang mereka menjungkalkan banyak prajurit musuh. Akhirnya pasukan Ibnu Saad mengepung mereka sehingga praktis sahabat-sahabat Imam Husein itu terpisah dari pasukan induk. Menyaksikan itu, Imam memerintahkan saudaranya yang bernama Abbas untuk pergi membantu dan menyelematkan mereka dari kepungan pasukan Kufah. Bagai singa kelaparan, Abbas menyerang dan mengobrak-abrik pasukan musuh untuk menyelamatkan keempat sahabat Imam Husein. Para jawara yang terluka itu kembali menyerang. Puluhan orang menggelepar-gelepar di tanah terkena tebasan pedang mereka. Akhirnya, keempat sahabat Imam Husein itu meneguk cawan syahadah, Inna lillah wa inna ilahi rajiun.
 
Imam Husein memegang janggutnya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan tunduk kepada kemauan kaum durjana ini, sampai aku menemui Tuhanku dengan tubuh berlumur darah.”
 
Kemudian dengan suara lantang Imam Husein berseru: “Tidak adakah orang yang sudi membela keluarga Rasul?” Kata-kata imam itu disusul oleh ledakan tangis histeris para wanita dari dalam kemah.
 
Dari dalam pasukan musuh, Sa’ad bin Harits dan saudaranya Abul Hatuf sadar setelah mendengar seruan Imam Husein itu. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua berbalik menyerang pasukan Umar bin Sa’ad. Sebelum gugur syahid, mereka berhasil membunuh beberapa orang prajurit Kufah.
 
Jumlah pasukan Imam Husein semakin berkurang dengan gugurnya beberapa orang dari kelurga Nabi. Akhirnya pertempuran berganti menjadi duel satu lawan satu. Banyak prajurit Kufah yang terbunuh. Umar bin Hajjaj berseru, “Wahai penduduk Kufah, tahukah kalian dengan siapa kalian berduel? Mereka adalah para jawara yang tak mungkin dikalahkan. Hujani mereka dengan batu, karena cara itulah yang paling tepat untuk menghabisi mereka.” Tak lama setelah itu, Umar bin Hajaj bersama pasukannya menyerang barisan Imam Husein. Meski berjumlah sedikit, pasukan Imam Husein tegar bertahan menghadapi mereka.  Banyak pasukan musuh yang tewas di tangan jawara-jawara pembela keluarga Nabi. Pasukan Kufah mundur. Sahabat-sahabat Imam menghujani mereka dengan anak panah. Tak berapa lama, Umar bin Hajjaj bersama Abdullah Bajali kembali menyerang. Bentrokan kembali meletus. Setelah pasukan musuh kembali menarik diri, tampak Muslim bin Ausajah, salah seorang sahabat setia Imam Husein, terkapar di tanah dengan tubuh berlumur darah. Muslim bin Ausajah adalah seorang yang dikenal pemberani di kota Kufah. Dialah yang menjadi wakil Muslim bin Aqil di Kufah untuk mengumpulkan dana, membeli persenjataan, dan mengambil baiat untuk Imam Husein. Dialah yang di malam Asyura ketika Imam Husein menyuruh para sahabat untuk pergi meninggalkannya, dengan mantap bangkit dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, untuk apa kami harus pergi meninggalkanmu? Jika itu kami lakukan apa jawaban kami di hadapan Allah nanti? Demi Allah, aku akan tancapkan tombakku di dada musuh-musuhmu. Selagi pedang ada di tanganku, aku akan memukulkannya di tubuh pasukan musuh. Jika aku tidak memiliki senjata aku akan berperang dengan batu. Demi Allah kami tidak akan meninggalkanmu. Biarkan Tuhan menyaksikan pengorbanan dan pembelaan kami kepada kehormatan Nabi. Demi Allah untuk membelamu, aku siap dibunuh lalu dihidupkan kembali. Setelah itu di bunuh dan dibakar dan abu pembakaran tubuhku ditaburkan. kemudian aku dihidupkan. Begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sampai nyawaku terlepas dari badan ini. Bukankah aku cuma akan mati sekali untuk kemudian pergi ke alam keabadian?
 
Muslim kini kini tergeletak di tanah. Imam Husein bersama Habib bin Madhahir mendatanginya.Imam mendoakannya. Habib bin Madhahir yang juga sahabat karib Muslim berkata kepadanya, “Sulit bagiku menyaksikan keadaanmu seperti ini. Bergembiralah, karena sebentar lagi engkau akan pergi ke surga.” Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, Muslim berkata, “Allah juga telah menyediakan surga untukmu.”
“Muslim,” kata Habib. “Jika aku masih bisa hidup lama setelahmu, aku siap menerima wasiatmu. Tapi aku tahu bahwa tak lama lagi akupun akan menyusulmu.” Muslim menunjuk kepada Imam Husein dan mengatakan, “Habib sahabatku, wasiatku satu-satunya adalah jangan sampai engkau meninggalkan Husein.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, muslim menutup mata untuk selamanya, inna lillahi wa inna ilahi rajiun. Saat itulah Imam Husien AS membacakan ayat Al-Qur’an
 
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَي نَحْبَهُ فَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَلُوْا تَبْدِيْلاً
 
Pasukan Kufah bersorak gembira karena berhasil membunuh Muslim bin Ausajah. Syabats bin Rab`i dengan suara lantang berseru, “Hei kalian semua, apakah dengan membunuh Muslim kalian sedemikian bersuka cita? Celaka kalian! Tahukah kalian bahwa Muslim sangat dihormati oleh kaum muslimin? Demi Allah! pasukan kafir gentar menghadapi pedangnya. Dialah jawara yang membuat pasukan musuh ketakutan.”
 
 
Syimr dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein. Abdullah bin Umair Al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein itu menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian, pedang Hani Shabiy Al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mengendur. Mendadak sebuah sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur sebagai syahid.
 
Dengan tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.
 
Pasukan Kufah yang kesetanan dengan keji memanggal kepala Abdullah bin Umair dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husien AS. Kepala itu disambut oleh ibu Abdullah yang lantas menciuminya. Tanpa diduga, wanita tua itu bangkit dan mengambil sepotong kayu lalu menyerang ke arah pasukan musuh. Imam Husein datang mencegah dan mengatakan, "Kembalilah ke kemah. Semoga Allah mengampunimu. Tuhan tidak mewajibkan jihad atas wanita."
 
Syimr dan pasukannya kembali menyerang. Kali ini Zuhair bin Al-Qain bersama sepuluh orang sahabatnya menyambut kedatangan mereka. Bentrokan tak dapat dihindari. Meski berjumlah sedikit mereka berhasil memporak-porandakan barisan pasukan Kufah. Keperkasaan sahabat-sahabat Imam Husein di medan laga dan kepiawaian mereka menarikan pedang menciutkan nyali pasukan Kufah. Qais, komandan pasukan berkuda Kufah, yang menyaksikan kekalahan orang-orangnya meminta bantuan pasukan yang lebih banyak. Umar bin Sa'ad segera mengirimkan pasukan pimpinan Hushain bin Umair.
 
Bentrokan masih terus berkecamuk. Pasukan Imam Husein AS bagai singa kelaparan mencabik-cabik pasukan musuh tanpa mempedulikan besarnya jumlah mereka. Beberapa orang Kufah jatuh tersungkur bersimbah darah. Pasukan Imam Husien hanya berpikir untuk mempersembahkan yang terbaik kepada keluarga Rasulullah. Zuhair dan sahabat-sahabatnya, bagai benteng kuat yang menghalangi pasukan musuh untuk sampai ke perkemahan Imam Husein AS. Meski berulang kali berusaha melumpuhkan mereka, namun Umar bin Sa'ad dan pasukannya tetap gagal menembus pertahanan itu.
 
Akhirnya, Ibnu Sa'ad memerintahkan orang-orangnya untuk membakar kemah Imam Husein. Tak ayal lagi, wanita dan anak-anak yang sejak tadi berada di dalam kemah berhamburan keluar. Saat itulah, Abu Sya'sa Al-Kindi maju melindungi Imam Husein dari gempuran musuh sambil membidikkan anak panahnya ke arah mereka. Beberapa orang menggelepar-gelepar di tanah terkena panahnya. Imam Husein yang menyaksikan adegan itu berdoa, "Ya Allah, kuatkanlah tangannya, tepatkanlah bidikannya dan berikanlah surga kepadanya sebagai pahala kebaikannya." Namun tak lama kemudian, Abu Sya'sa pun pergi menemui Tuhannya setelah mempersembahkan jiwa dan raganya kepada Islam. Inna lillah, wa inna ilahi rajiun.
 
Terik mentari semakin membakar, pertanda waktu dhuhur akan segera tiba. Di kamp Imam Husein, Abu Sumamah As-Saaibi (Saa-ibi) menatap mentari lalu menghadap Imam sambil mengatakan, "Wahai Abu Abdillah, jiwaku aku korbankan untukmu. Lihatlah musuh semakin dekat. Demi Allah, tak akan kubiarkan Anda gugur sebelum aku mempersembahkan jiwa ini untukmu dengan bersimbah darah. Namun sebelum pedang mencabik-cabik tubuhku, aku ingin shalat dhuhur di belakangmu untuk terakhir kalinya."
 
"Engkau masih ingat akan kewajiban shalat. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan para penegak shalat dan yang selalu mengingat-Nya. Benar, sudah saatnya untuk melaksanakan shalat Dhuhur." Imam melanjutkan, "Minta mereka agar menghentikan peperangan sejenak untuk melaksanakan shalat."
Permintaan Imam Husein itu dijawab oleh Hushain bin Umair, "Hei, Tuhan tidak akan menerima shalat kalian."
 
Habib bin Madhahir bangkit menjawab kelancangan itu dan berkata, "Hei Hushain, kau kira shalat cucu Nabi tidak diterima Allah, sedang shalatmu diterima?" Hushain bin Umair naik pitam. Dia menghentakkan kudanya untuk menyerang Habib. Habib memukul kepala kuda Hushain. Ibnu Umair terjengkal. Kematian sudah tampak di hadapannya. Namun ia lolos dari maut setelah pasukan Kufah datang menyelamatkannya. Habib bin Madhahir maju dan menyerang pasukan musuh. Enam puluh dua orang terjerembab di atas pasir Karbala bermandikan darah terkena sabetan pedang sahabat Imam Husein itu. Sekonyong-konyong seseorang dari Bani Tamim memukulkan pedang ke tubuh Habib dan berhasil melukainya. Habib terhuyung dan jatuh ke tanah. Sebelum sempat bangkit untuk kembali melakukan perlawanan, Hushain menyerbu ke arahnya dan dengan sekali tebas, kepala Habib bin Madhahir terpisah dari badannya yang suci. Kematian Habib bin Madhahir bagai tombak yang menikam hati Imam Husein. Beliau berkata, "Darah Habib bin Madhahir akan aku tuntut kelak di hadapan Allah."
 
Hurr bin Yazid Al-Riyahi dan Zuhair bin Al-Qain maju ke arah pasukan Umar bin Saad. Kedua jawara itu saling membantu di medan laga. Sambil menari-narikan pedangnya, Hurr bersenandung:
Akulah Hurr yang akan menebas kalian dengan pedang. Akulah pembela manusia paling mulia.  Akan kubantai kalian tanpa ragu dan bimbang.
 
Setelah bertarung cukup lama, Hurr terguling di tanah bersimbah darah. Para sahabat Imam Husein yang masih tersisa datang dan membawa tubuh suci itu ke perkemahan. Hurr masih bernafas. Imam Husein dengan penuh kelembutan meletakkan kepalanya di pangkuan beliau. Sambil membersihkan darah dari wajah Hurr, beliau berkata, "Engkau benar-benar bebas seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Sungguh engkau bebas, di dunia dan akhirat."
 Ali putra Imam Husein datang dan mengatakan, "Hurr, engkaulah jawara sejati yang berkorban demi Husein."
 Imam Husein AS dan para sahabatnya berdiri untuk melaksanakan shalat Dhuhur berjamaah. Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah Al-Hanafi berdiri di depan mereka dan menjadi tameng hidup. Setelah shalat berjamaah selesai, Said ambruk karena luka yang dideritanya. Pada detik-detik terakhir kehidupannya, Said mengatakan, "Ya Allah, kutuklah kelompok pengkhianat janji ini seperti Engkau melaknat kaum 'Ad dan Tsamud. Ya Allah sampaikanlah salamku kepada Nabi-Mu." Sambil menatap Imam Husein, ia berujar, "Husein tuanku, apakah aku telah memenuhi janji setiaku?" Imam menjawab, "Ya, bergembiralah, karena surga telah menantimu. Tak lama lagi aku akan menyusulmu. Sampaikan salamku kepada kakeku Rasulullah."
 
Setelah itu, Imam Husein mengalihkan pandangan ke arah para sahabatnya dan berkata, "Sahabat-sahabatku, pintu surga telah terbuka menantikan kedatangan kalian. Sungai-sungai surga dan buah-buahnya tak sabar menunggu kalian. Nabi dan para syuhada berbaris untuk menyambut kalian. Karenanya, teruskan pengorbanan kalian demi keluarga Nabi. Semoga Allah mengampuni kalian semua."
 
Kata-kata Imam Husein AS belum selesai ketika Yazid bin Mi’qal tiba-tiba berseru, “Hei Burair, bagaimana takdir Tuhan menurutmu?” Burair menjawab, “Demi Allah aku hanya menyaksikan kebaikan dalam takdir dan kehendak Tuhan.  Dialah yang membimbingku ke jalan kebaikan. Sedangkan takdir telah membawamu menjadi budak kejahatan.”
“Bohong,” sergah Ibnu Mi’qal. “Hei Burair, ingatkah engkau waktu kita bersama-sama di kabilah bani Hawazin, saat itu engkau mengatakan bahwa pemimpin kelompok yang mendapat hidayah adalah Ali bin Abi Thalib?”
“Iya,” jawab Burair. “Sampai kinipun aku masih mengatakannya. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk dalam golongan mereka yang sesat. Kini aku tantang engkau untuk bermubahalah dan meminta Allah untuk menurunkan laknat-Nya atas orang yang berdusta di antara kita berdua.”
 
Keduanya lantas mengangkat tangan dan meminta kepada Allah untuk melaknat dan membinasakan orang yang berdusta di antara mereka berdua. Adegan itu dilanjutkan dengan duel. Tidak berapa lama, pedang Burair menancap di kepala Yazid. Yazid terkapar di tanah bermandikan darah. Mendadak Radhi bin Munqiz Al-Abdi datang menyerang. Burair menerkam dan membantingnya ke tanah, lalu duduk di atas tubuhnya. Ka’ab bin Jabir bin Amr Al-Azdi maju untuk segera menghabisi Burair. Afif bin Zuhair bin Akhnas menegurnya, “Celaka engkau yang berniat membunuh Burair bin Khudhair, qari terkemuka di Kufah. Biarkan dia.” Ka’ab tidak memperdulikan teguran itu dan tetap melangkah maju. Sekejap kemudian, pedang Kaab terayun ke punggung Burair. Burair, sahabat setia Imam Husein itu, tersungkur mencium tanah dengan tubuh berlumur darah. Burair gugur sebagai syahid.
 
Pembunuhan Burair oleh Kaab membangkitkan reaksi keras. Kepada Ka’ab, istrinya berkata, “Celaka engkau hei Ka’ab. Engkau telah menghunus pedang terhadap cucu Rasulullah dan membunuh pemuka para qari Kufah, Burair bin Khudhair. Demi Allah aku tidak akan berbicara lagi denganmu selamanya. Betapa besar dosa yang telah engkau lakukan!”
 
Handhalah bin As’ad Asy-Syabami maju. Dengan suara lantang dia berseru, “Hei penduduk Kufah, Aku sungguh mengkhawatirkan terulangnya peristiwa Ahzab dan perbuatan umat Nuh, kaum Ad dan kaum Tsamud karena perbuatan kalian. Aku mengkhawatirkan hari di mana kalian saling menyalahkan, sedang Allah tidak akan mengampuni kalian lagi. Barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang bisa memberinya petunjuk. Tinggalkan Husein dan jangan kotori tangan kalian dengan darahnya. Jika tidak, Allah pasti akan menghukum kalian dengan azab-Nya yang pedih.” Imam Husein yang mendengar kata-kata itu mendoakan Handhalah, “Semoga Allah merahmatimu. Mereka telah terjerumus ke dalam jurang dan akan merasakan azab Tuhan.” Putra As’ad Asy-Syabami itu mengiyakan dan berkata, “Benar.” Handhalah lalu bangkit dan maju ke medan tempur untuk bertarung sampai akhirnya ia meneguk cawan syahadah.
 
‘Abis bin Abi Syaib (شَيْب) Asy-Syakiri bertanya kepada Syaudzab, salah seorang sahabatnya yang dikenal sebagai pengikut setia Ahlul Bait dan muhaddis besar. “Apa yang akan kau lakukan, wahai Syaudzab?” “Berperang membela cucu Rasul sampai aku terbunuh,” jawab Syaudzab. ‘Abis menanggapi kata-kata sahabatnya itu dan berkata, “Aku juga berpikir sama. Kalau begitu mari kita menghadap Imam dan meminta izin beliau untuk maju ke medan tempur.” Syaudzab menghadap Imam Husein AS dan meminta izin untuk bertempur melawan musuh. Imam mengizinkan. Syaudzab maju dan bertempur dengan gigih sampai akhirnya dia meneguk cawan syahadah. Tak berapa lama ‘Abis keluar dari barisan dan menyerbu pasukan musuh. Kelincahannya memainkan pedang dan menjungkalkan lawan serta keberaniannya membuat pasukan musuh berdecak kagum. Pertempuran ‘Abis disebut-sebut sebagai salah satu contoh kepahlawanan para jawara pejuang kebenaran. Sudah menjadi tradisi bagi para sahabat Imam Husein untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Imam sebelum pergi ke medan tempur, lalu berpamitan kepada beliau sambil mengungkapkan kata-kata kesetiaan. ‘Abis melakukan hal yang sama. Kepada junjungannya itu, dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, ketahuilah bahwa di muka bumi ini tak ada seorangpun yang mulia dan lebih kucintai dari dirimu. Andai saja aku bisa menyelamatkanmu dari pembantaian ini meski dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa ini, aku pasti akan melakukannya tanpa ragu. Saksikanlah bahwa aku mati dengan membawa keyakinan akan agamamu dan agama ayahmu.” Setelah menyampaikan kata-kata itu, ‘Abis berpamitan dengan Imam Husein dan maju ke medan perang.
 Rabi’ bin Tamim berkata: Saat pandanganku jatuh pada diri ‘Abis, aku segera mengenalinya. Aku telah berkali-kali menyaksikan kepahlawanannya di berbagai pertempuran. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pemberani dari ‘Abis. Karenanya aku segera berseru “Hei! inilah si raja singa, ‘Abis bin Abi Syaib Asy-Syakiri. Siapa yang berani menghadang jalannya pasti akan terjungkal bersimbah darah.” Bagai singa kelaparan ‘Abis berputar-putar di medan tempur menantang para jawara di barisan pasukan Kufah untuk berduel satu lawan satu. Tak ada seorangpun yang berani maju menghadapinya. Melihat gelagat itu, Umar bin Sa’ad sebagai komandan tertinggi pasukan Ubaidlillah bin Ziyad segera mengerahkan pasukannya untuk mengepung ‘Abis dan menghujaninya dengan lemparan batu. Menyaksikan kelicikan itu, nyali ‘Abis bukan menjadi redup, malah semakin berkobar. Dia menantang musuh dengan melepas baju dan topi besinya sambil bersenandung: “Inilah saatnya kutanggalkan pakaian untuk merasakan maut dengan seluruh tubuh ini.”
 ‘Abis maju menyerang dan menari-narikan pedangnya dengan gigih. Rabi bin Tamim mengatakan, “Demi Allah saat ‘Abis maju menyeruak ke barisan pasukan Ibnu Sa’ad, sekitar dua ratus orang yang berada di hadapannya lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Akhirnya mereka mengambil jalan mengepung sahabat Imam Husein itu dari empat arah. Puluhan luka yang diderita ‘Abis akibat lemparan batu, sabetan pedang dan tusukan tombak membuatnya roboh. Tak lama kemudian aku menyaksikan kepala ‘Abis dibawa beramai-ramai oleh sekelompok prajurit Kufah. Masing-masing mengaku bahwa dialah yang telah berhasil merobohkan ‘Abis.  
 Jaun (جَوْن), bekas budak Abu Dzar Al-Ghiffari mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk mempersembahkan jiwanya dalam membela beliau. Kepadanya Imam berkata, “Wahai Jaun, engkau berada di sisi kami untuk mendapatkan perlindungan dan hidup terjamin. Sekarang aku persilahkan engkau untuk meninggalkan tempat pembantaian ini.” Jaun menangis dan bersimpuh di kaki Imam Husein. Kepada beliau, bekas budak itu mengatakan, “Aku selama ini hidup senang bersama Anda. Bagaimana aku harus meninggalkan Anda di saat Anda menghadapi kesulitan seperti ini? Tuanku, aku adalah seorang budak yang tak jelas asal usulnya sedangkan kulitku berwarna hitam. Karena itu, izinkan aku untuk masuk surga sehingga badanku ini menjadi harum dan kulitku memutih. Demi Allah aku bersumpah tidak akan pernah meninggalkanmu sampai darahku yang hitam ini bercampur dengan darahmu yang suci.” Imam Husein terharu mendengar kata-kata Jaun dan mengizinkannya untuk maju ke medan laga.
 Dengan gagah berai Jaun maju. Dia berhasil membuat beberapa orang prajurit Umar bin Sa’ad menggelepar-gelepar di tanah menunggu kedatangan malaikat maut. Namun dia juga harus berpisah dengan junjungannya setelah meneguk cawan syahadah yang dihidangkan kepadanya. Imam Husein datang dan memangku jenazah Jaun sambil berdoa, “Ya Allah, putihkanlah kulit wajahnya dan berilah dia tempat bersama Nabi-Mu Muhammad dan keluarganya.”
 Tak lama setelah itu, Ars bin Harits Al-Kahili, seorang sahabat Nabi yang telah berusia lanjut dan pernah ikut perang Badr dan Shiffin, datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk maju ke medan tempur. Dengan mengikat serbannya di pinggang ia maju menari-narikan pedangnya. Sekitar enam puluh tubuh prajurit Umar bin Saad berhasil dirobohkannya, sebelum akhirnya dia sendiri gugur sebagai syahid.. Pertarungan sahabat ini disaksikan oleh Imam Husein yang tak henti-hentinya berdoa, “Semoga Allah membalas budi baikmu wahai orang tua.”
 Kini tiba giliran Amr bin Junadah Al-Anshari untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Rasulullah dan keluarganya. Dia adalah putra Junadah bin Kaab Al-Anshari, sahabat Imam Husein yang gugur bersama sejumlah orang lainnya di pagi hari Asyura’ dalam serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan Ibnu Ziyad. Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Ibu Amr bin Junadah kepada putranya yang saat itu masih berusia 11 tahun. “Anakku, bangkit dan berperanglah untuk membela cucu Rasulullah ini.” Remaja belia itupun maju ke medan laga. Imam Husein yang menyaksikan kesiapan Amr untuk bertarung berkata, “Ayah anak ini sudah gugur. Mungkin ibunya akan sangat terpukul jika anak itu maju ke medan tempur dan terbunuh. Suruh dia kembali ke kemah.” Amr bin Junadah menjawab, “Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini di badanku. Kini izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul.” Amr maju bagai seorang Kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung:
 
Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin
Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah
Adakah seorang pemimpin yang seperti dia?
Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?
 
Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah AS. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya mengatakan, “Selamat untukmu wahai buah hatiku.” Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berkata, “Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali.” Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, “Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah.” Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanitapun terjun ke medan tempur. 
 Hajjaj bin Masruq Al-Ju’fi maju memperlagakan kepiawaiannya memainkan pedang demi membela Imam. Beberapa saat setelah itu, ketika sekujur tubuhnya telah bersimbah darah, dia mendatangi Imam Husein dan mengatakan, “Hari ini aku akan segera bertemu dengan ayahmu Ali yang aku yakini sebagai washi dan penerus risalah Nabi.” Imam Husein menjawab, “Ya, aku juga akan segera menyusul.” Hajjaj kembali ke medan tempur sampai syahadah datang membawanya ke surga.
 Setelah Hajjaj, Sawid bin Amr bin Abi Mutha’ maju. Tak berapa lama ia terjungkal dari punggung kuda. Pasukan Kufah yang mengiranya telah gugur, meninggalkan Sawid. Setelah Imam Husein syahid, Sawid dengan menahan luka yang dideritanya bangkit mengambil pisaunya dan bertempur melawan pasukan Kufah sampai akhirnya iapun meneguk cawan syahadah. Sawid adalah orang terakhir dari pasukan Imam Husein yang menjadi korban kebiadaban pasukan Ibnu Sa’ad.
 
Kini tak ada seorangpun sahabat Imam Husein yang tersisa. Hanya keluarga beliaulah yang kini tengah menantikan detik-detik perpisahan dengan dunia yang fana ini. Mereka bertekad untuk menyongsong kematian demi membela agama Rasulullah SAW. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan. Orang pertama dari Bani Hasyim yang maju ke medan laga adalah Ali Akbar putra Imam Husein yang disebut-sebut sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu para wanita keluarga Rasul berkumpul dan mendatangi Ali Akbar seraya mengatakan, “Wahai putra Husein, kasihanilah keterasingan kami yang tak kuasa berpisah darimu.” Ali Akbar meminta izin untuk maju bertempur. Dengan langkah yang mantap, pemuda tampan itu bergerak sambil membawakan bait-bait syair kepahlawanan:
 
Akulah Ali Putra Husein bin Ali
Kamilah keluarga terdekat Nabi
Kan kupukul kalian dengan pedang ini
Demi membela Husein cucu Nabi
Aku bertempur dengan gagah berani
Tak kan kuizinkan mereka memerintah kami
 
Kepergian Ali Akbar ke medan laga diiringi oleh pandangan sayu sang ayah. Dengan air mata yang membasahi pipi, Imam Husein mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah saksikanlah, bahwa pemuda yang paling mirip dengan rasul-Mu Muhammad maju ke medan tempur. Selama ini jika kami rindu kepada Nabi kami selalu melampiaskannya dengan menatap wajahnya.”
 Saat itulah terdengar suara Imam Husein AS berseru, “Hei Ibnu Sa’ad, semoga Allah memutus tali keturunanmu yang tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah swt telah memuliakan Adam, Nuh, Ibrahim, dan keluarga Imran atas semua makhluk-Nya, dan kami adalah keturunan orang-orang suci itu.”
 Di medan perang, Ali Akbar bertempur dengan gagah berani memperlihatkan kepahlawanan keluarga Bani Hasyim. Tujuh puluh orang tersungkur setelah terkena sabetan pedangnya. Rasa dahaga yang sejak tadi mencekik lehernya mendorongnya untuk kembali ke kemah menemui sang ayah. Ali Akbar mengeluhkan rasa haus yang melemahkan badannya. Kepada putranya itu Imam Husein mengatakan, “Anakku, tak lama lagi engkau akan segera bertemu dengan kakekmu Rasulullah yang akan memberimu air dari telaga surga dan engkau tak akan merasakan dahaga lagi selamanya.”
 Ali Akbar kembali ke medan tempur. Sekonyong-konyong sebuah anak panah menancap di lehernya. Dari belakang, Barrah bin Munqidz Al-Abdi mengayunkan pedangnya ke kepala putra Al-Husein itu. Ali Akbar jatuh bersimbah darah. Pasukan musuh yang menyaksikan peristiwa itu serta merta menyerang dan mencabik-cabik tubuh cicit Rasulullah tersebut. Setelah itu, Imam Husein mendatangi jenazah sang anak dan memangkunya. Beliau berkata, “Semoga Allah menumpas mereka yang telah membunuhmu. Sungguh, betapa kejinya mereka yang menginjak-injak kehormatan Rasul dan membantai para kekasih Allah. Anakku, setelah kepergianmu, dunia ini tak lagi berarti.” Imam lantas meraup darah anaknya dan melemparkannya ke atas. Tak ada setetespun dari darah itu yang jatuh ke tanah. Kemudian beliau memerintahkan agar jasad Ali Akbar diletakkan di depan kemah. Para wanita keluarga Nabi SAW duduk mengelilingi jenazah suci cucu Nabi itu dan berlomba menguras air mata. Jerit tangis dan teriakan histeris itu semakin bertambah saat mata mereka tertuju pada tubuh Ali Akbar yang dicincang dengan luka sayatan dan tusukan yang tak terhitung. Zainab, adik kandung Imam Husein, tak mampu menahan diri. Dia ambruk memeluk tubuh keponakan yang sangat disayanginya itu dan menciuminya.
 Abdullah bin Muslim bin Aqil datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk bertarung. Sambil menarikan pedangnya Abdullah bersenandung:
 
Aku bergegas untuk menjumpai ayahku, Muslim
Aku kan bertemu dengan para pengorban jiwa demi agama
 
Abdullah bin Muslim bin Aqil tiga kali melakukan serangan ke barisan musuh. Beberapa nyawa melayang ditebas oleh ketajaman pedangnya. Mendadak Amr bin Shabih Ash-Shada’i (الصَّـدَاعي) membidikkan anak panah ke arah Abdullah untuk menghentikan petualangan heroiknya. Anak panah itu tepat menancap di dahi putra Muslim bin Aqil. Abdullah mencabut anak panah itu sambil berujar, “Mereka adalah kaum pengkhianat. Habisi dan bantai mereka, sebab mereka datang untuk membantai kita.”
Tiba-tiba seseorang menyuak dan menancapkan sebuah anak panah di dada Abdullah. Abdullah roboh dan menyongsong syahadah dengan senyuman. Keluarga besar Abu Thalib yang menyaksikan gugurnya Abdullah secara serentak maju menyerang. Gerakan mereka diikuti oleh seruan Imam Husein, “Wahai saudara-saudara sepupuku, songsonglah kematian dengan tabah. Demi Allah, tidak ada lagi kehidupan dunia setelah ini.”
 ‘Aun (عَوْن) bin Abdullah bin Ja’far Thayyar yang juga putra Zainab binti Ali, gugur, lalu saudaranya Muhammad, disusul kemudian oleh Abdurrahman dan Ja’far putra Aqil, setelah itu Muhammad bin Muslim bin Aqil. Tak jauh dari tempat mereka meneguk cawan syahadah, Hasan Al-Mutsanna, putra Imam Hasan, tergeletak di padang tandus Karbala dalam kondisi luka parah dan tangan kanan yang terputus. Giliran Muhammad bin Abi Bakr bin Amirul Mu’minin Ali maju ke medan perang. Langkah pemuda suci itu terhenti akibat tebasan pedang Ibnu Nakha’i. Abdullah bin Aqil terjebak di tengah-tengah pasukan Ibnu Ziyad. Sejumlah orang berhasil dilumpuhkannya. Namun luka parah yang diderita Abdullah memperlemah langkahnya. Utsman bin Khalid At-Tamimi datang dan menghabisi nyawa saudara sepupu Imam Husein itu. Giliran Abdullah Akbar putra Imam Hasan Mujtaba maju ke medan perang. Sebelum gugur dia berhasil membuat sejumlah orang tersungkur oleh tebasan pedangnya. 
 Seorang pemuda belia bernama Qasim bin Imam Hasan maju meminta izin untuk bertempur. Imam mengizinkan dan mendekap keponakannya. Beliau teringat akan saudara kandungnya, Imam Hasan Mujtaba. Kepergian Qasim diikuti dengan tangisan Imam Husein AS. Qasim yang berwajah tampan bagai bulan purnama itu dengan tangkas memainkan pedangnya membuat beberapa orang terkapar di tanah. Namun tiba-tiba kegesitan Qasim mengendur setelah Amr bin Saad bin Nufail Al-Azdi memukulkan pedangnya di kepala Qasim. Remaja belia itu menjerit histeris, “Paman! Tolong aku.”
 Imam dengan secepat kilat menerjang ke arah Amr, pembunuh Qasim bin Hasan. Amr berlari tunggang langgang. Pasukan Kufah yang hendak menyelamatkan Amr mundur menyaksikan singa bani Hasyim itu mengamuk. Amr bin Saad bin Nufail yang dengan sadis membantai Qasim putra Imam Hasan, kini menggelepar-gelepar di padang Karbala menunggu kedatangan malaikat maut yang akan mengantarnya ke neraka. Dia tewas di tangan Imam Husein, putra Ali bin Abi Thalib. Imam memangku jasad keponakannya itu dan membelainya sambil mengatakan, “Celakalah mereka yang membunuhmu. Kakekmu Rasulullah, tidak akan memaafkan mereka.” Imam menggendong Qasim menuju perkemahan dan meletakkannya di sisi jasad Ali Akbar.
 Abul Fadhl Abbas yang menyaksikan gugurnya bunga-bunga rumah kenabian, memandang ke arah saudara-saudaranya dan berkata, “Adik-adikku, bersiap-siaplah untuk menyerang pasukan kafir itu demi memperoleh keridhaan Allah.” Abdullah, Utsman dan Ja’far, ketiganya adalah adik kandung Abul Fadhl maju ke medan perang. Tak berapa lama merekapun bergabung dengan kafilah para syuhada. Setelah ketiga adiknya gugur, Abul Fadhl memandang ke sekelilingnya. Tak ada lagi seorangpun selain dirinya dan Imam Husien yang tersisa. Jawara yang bernama Abbas ini datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk menyerang pasukan lawan. Imam mencegah dan mengatakan, “Abbas, engkau adalah pemegang panji pasukan ini.” Abul Fadhl menjawab, “Benar, tapi demi Allah, dadaku terasa sesak sekali. Izinkan aku untuk menuntut darah para syuhada.” Kepada Abul Fadhl, Imam berkata lagi, “Adikku, pergilah dan usahakan untuk mendapatkan sedikit air untuk anak-anak yang kehausan.”
 Abul Fadhl dengan secepat kilat memacu kudanya ke arah pasukan musuh. Abbas mengingatkan mereka akan kemurkaan Allah dan meminta agar mereka mengijinkannya mengambil air untuk anak-anak kecil di perkemahan Imam Husein yang dicekik rasa dahaga. Kata-kata itu tidak digubris oleh pasukan Kufah yang telah dikuasai setan. Abul Fadhl kembali kepada Imam Husein. Namun hati jawara itu tercabik-cabik kala mendengar jeritan anak-anak yang kehausan. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengambil qirbah, kantong air dan memacu kudanya ke arah sungai Furat. Empat ribu prajurit Kufah menghadang dengan pedang terhunus dan tombak yang diarahkan kepadanya. Abul Fadhl terus melaju dengan cepat. Sesampainya di tepi sungai dia segera mengambil air di tangannya. Sebelum sempat air itu menyentuh bibirnya, ia teringat akan abang sekaligus junjungannya, Imam Husein AS yang sedang kehausan. Abbas mengurungkan niatnya dan melemparkan kembali air itu ke sungai.
 Abul Fadhl yang sudah selesai memenuhi qirbahnya dengan air sungai Furat, segera naik kembali ke punggung kuda dan memacunya ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan, Abbas dihadang oleh pasukan Kufah. Tak ada pilihan lain selain mencabut pedang dan mengusir mereka dari hadapannya. Bentrokan antara jawara bani Hasyim dengan pasukan Kufah terjadi. Banyak yang tersungkur di tanah bersimbah darah. Sambil mempertontonkan aksi heroiknya, Abul Fadhl Abbas bersenandung:
 
Aku tak berpaling dari kematian kala datang menjemputku
Tugas memberi air minum keluarga Nabi ada di pundakku
Aku tak takut, meski hadapi maut untuk tugas itu  
 Zaid bin Warqa’ Al-Juhani yang bersembunyi tiba-tiba muncul membantu Hakim bin Thufail menebas tangan kanan Abul Fadhl. Abbas yang kehilangan tangan kanan mengambil pedang dengan tangan kirinya sambil berkata, “Meski aku kehilangan tangan kanan, namun aku tetap akan membela agama dan junjunganku, Al-Husein putra Rasul.” Hakim bin Thufail kembali menyerang. Kali ini tangan kiri Abul Fadhl Abbaslah yang diincarnya. Tak lama kemudian tangan itupun terlepas dari tubuh suci Abbas. Kehilangan dua tangannya, Abul Fadhl mendekap panji pasukan Imam Husein di dadanya. Gerakan jawara putra Ali itu mengendur. Dia dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Ibnu Sa’ad. Beberapa anak panah menghujani pemegang panji Imam Husein itu dan menancap di dada, punggug, wajah, bahkan matanya. Dalam keadaan seperti itu mendadak seorang prajurit Kufah memukulkan besi di kepala Abbas. Abbas tersungkur ke tanah dan berteriak histeris, “Oh Husein abangku.”
 Mendengar jerit suara Abul Fadhl, Imam Husein segera memaju kudanya dan secepat kilat melesat ke arah saudaranya. Bagai singa kelaparan Imam Husein membabat setiap orang yang menghadangnya. Pasukan Kufah kocar-kacir. Tak berapa lama, beliau telah tiba di sisi Abul Fadhl. Dengan lembut Imam meletakkan kepala adiknya itu di pangkuannya. Menyaksikan keadaan Abbas, Imam mendesah dan mengatakan, “Patah sudah tulang punggungku.” Imam Husein bangkit dan dengan sengit menghajar para prajurit Kufah. Pasukan itu dibuatnya kewalahan. Masing-masing berpikir untuk menyelamatkan diri dari tebasan pedang putra Fathimah itu. Menyaksikan musuh yang lari menjauh, Imam Husein berseru, “Di maka kalian yang telah membunuh adikku?  Ke mana kalian yang telah meluluhkan lengan kananku?” Sejenak kemudian Imam Husein kembali memangku jasad adiknya, Abul Fadhl Abbas yang tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir setelah mempersembahkan pengorbanan besar untuk agama dan imamnya. Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
 
 Imam Abu Abdillah Al-Husein AS kembali ke kemah. Peristiwa yang baru disaksikannya sedemikian pahit hingga seakan-akan melumpuhkan pundaknya. Imam menyeka air mata yang membasahi wajahnya, Sukainah, putri kesayangannya datang menghampiri beliau dan menanyakan perihal pamannya, Abbas. Imam Husein menceritakan apa yang dialami Abbas di medan perang. Zainab yang mendengar untuk sejenak membisu, tak mampu mengurai kata-kata. Namun tak lama kemudian dia menjerit histeris, “Oh Abbas, adikku.”
 Imam menatap sekelilingnya. Hanya tubuh-tubuh para sahabatnya yang bersimbah darah yang tampak. Suara jerit tangis para wanita dan anak-anak di kemah menambah pedih perasaannya. Imam bangkit dan berseru, “Adakah orang yang bersedia membela keluarga Nabi?” Kata-kata beliau membuat jerit tangis mereka yang di kemah semakin menjadi-jadi. Imam Sajjad, putra Imam Husein yang saat itu sedang sakit berusaha berdiri dengan topangan tongkat lalu mengambil pedangnya. Pemuda cucu Nabi itu siap untuk maju ke medan perang. Imam Husein yang melihatnya, segera memerintahkan Ummu Kultsum untuk mencegahnya dan berpesan, jangan sampai dunia kosong dari putra Nabi. 
 Imam lantas menyuruh semua anggota rombongannya yang terdiri dari para wanita keluarga Nabi itu untuk diam. Beliau ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Imam Husein lantas mengambil pedang dan perisai Nabi. Tak berapa lama beliau meminta Abdullah anaknya yang masih berusia enam bulan untuk memberinya ciuman terakhir. Zainab menyerahkannya kepada beliau. Sebuah ciuman suci mendarat di pipi Abdullah. Imam Husein lantas mengangkat anaknya itu dan meminta pasukan Ibnu Sa’ad untuk memberinya minum. Pasukan Kufah yang kesetanan tak menggubris seruan itu. Bahkan Harmalah yang berhati batu membidikkan sebuah anak panah ke arah bayi tersebut. Anak panah mendarat tepat di leher Abdullah. Darah segar membasahi tangan Imam Husein. Imam memenuhi tangannya dengan darah Abdullah lalu melepmparkannya ke langit. Tak ada setetespun yang tercecer di tanah. Beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kemudahan menanggung segala penderitaan ini. Ya Allah, semoga derita ini tidak memudahkan terpisahnya nyawa dari tubuh ini. Tuhanku, aku tahu bahwa Engkau telah memberikan kemenangan kepada kami dan Engkaulah yang akan menuntut balas dari mereka akan perbuatan ini. Engkau pulalah yang menjadikan musibah yang mereka timpakan kepadaku sebagai simpanan untuk hari akhirat. Ya Allah Engkau telah menyksikan sendiri bahwa mereka telah membunuh orang yang paling mirip dengan Rasul-Mu.”
 Tiba-tiba Imam Husein mendengar suara yang memintanya untuk mengembalikan Abdullah ke dalam kemah. “Husein, kembalikan anak itu, sebab dia telah ditunggu oleh perawatnya di surga.” Imam memberikan sang anak kepada adiknya, Zainab. Beliau tahu bahwa ibu Abdullah tidak akan kuasa menyaksikan keadaan anaknya yang dengan leher menganga dibelah anak panah Harmalah. Zainab menerima anak itu sambil mengatakan, “Abangku, tutupilah anak ini. Aku tak kuasa menyaksikan keadaannya.”
Imam Husein menggali sebuah kubur kecil dan memakamkan Abdullah tanpa mencabut anak panah yang menancap di lehernya.  Beliau tahu benar bahwa setelah kesyahidannya, pasukan berkuda musuh akan menginjak-injak tubuhnya dan tubuh para sahabatnya.
 Tak lama kemudian, Imam Husein maju ke medan tempur. Pasukan Kufah dibuatnya kocar-kacir. Ya, Husein tak lain adalah jelmaan Muhammad, Rasululah dan Ali. Dialah yang mewarisi darah Fathimah, Hasan, Hamzah, Ja’far Thayyar, Isa, Musa, Ibrahim, Ismail dan seluruh Nabi pilihan Tuhan. Dialah korban persembahan agung yang dimaksud Al-Qur’an dalam janji Allah kepada Ibrahim. Husein adalah darah Tuhan. Putra Ali itu menyerang kamp pasukan Ibnu Saad dan bersenandung:
Akulah Husein putra Ali
Untuk tunduk, aku tak kan sudi
Kubela keluarga ayahku sampai mati
aku memegang teguh agama Nabi
 Abdullah bin Ammar bin Abi Yaghuts mengatakan: Demi Allah aku tidak pernah melihat seorang seperti Husein yang meski ditimpa berbagai musibah dan menyaksikan sendiri kematian anak-anaknya, para sahabat dan sanak keluarganya, namun tetap tegar dan berperang bagai singa kelaparan hingga membuat pasukan lawannya tercerai-berai. Tak ada seorangpun yang bisa dan berani menghadangnya. Ketangkasan dan kepahlawanan Imam Husein tidak mengherankan bagi sebagian orang termasuk Umar bin Saad yang berseru, “Ingat, Husein adalah putra Ali yang akan menjungkalkan semua jawara Arab. Karena itu kepung dia dari segala penjuru!” menyusul perintah Ibnu Sa’ad, sebanyak empat buah tombak dilemparkan ke arah Imam Husein dari empat arah. Imam Husein praktis terpisah dari perkemahannya. Sekelompok orang dari pasukan Kufah datang beramai-ramai ke perkemahan keluarga suci Nabi.
 Tindakan mereka membangkitkan amarah Imam Husein yang lantas menghardik mereka, “Hei para budak Abu Sufyan, jika kalian tidak beragama dan tidak percaya akan hari akhirat, jadilah orang yang bebas dan merdeka.” Syimr menyergah, “Apa yang kau inginkan hei anak Fathimah?”
Imam menjawab, “Akulah yang berperang dengan kalian, bukan wanita-wanita itu. Selama aku masih hidup jangan sekali-kali kalian mendekati mereka.”
Syimr mengiyakan dan mengabulkan permintaan Imam Husein.
 Seluruh pasukan Kufah memusatkan perhatian mereka kepada Imam Husein. Perang tak  seimbang itu semakin sengit. Rasa haus dan dahaga semakin mencekik tenggorokan cucu Nabi itu. Dengan terus menari-narikan pedangnya, Imam Husein AS berjalan menuju sungai Furat. Setelah berhasil menghalau Amr bin Hajaj dan pasukannya yang berjumlah empat ribu orang, beliau sampai di tepi sungai Furat. Tanpa membuang waktu beliau mengambil air dan siap meminumnya. Namun sayup-sayup terdengar suara seseorang yang menegur beliau dengan mengatakan, “Mengapa engkau ingin membasahi kerongkongan dengan air itu sedangkan perkemahan keluargamu diserang oleh pasukan musuh?” Imam Husein mengurungkan niatnya dan secepat kilat memacu kudanya ke arah perkemahan. Dengan gesir beliau menghalau para durjana dari perkemahannya. Kembali Imam Husein AS menjumpai keluarganya dan berpesan, “Siapkanlah diri kalian untuk menghadapi banyak musibah besar setelah ini. Wahai keluarga kenabian, Allah adalah sebaik-baik penolong kalian. Dialah yang akan menjaga kalian dari gangguan mereka. Allah telah menentukan akhir yang baik bagi kalian dan akan mengazab musuh-musuh itu dengan siksaan yang amat pedih. Ingatlah bahwa setiap musibah yang kalian alami akan diganti dengan kenikmatan-kenikmatan yang tak terkira. Karena itu, jangan kalian lemahkan diri kalian dengan jerit tangis.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Imam Husein berpamitan dengan mereka.
 Tiba-tiba terdengar suara gelegak Umar bin Sa’ad yang menghardik pasukannya sendiri. “Hei! serang dan habisi dia. Jika tidak, dia pasti akan mengobrak-abrik barisan kalian.”
 Pasukan Kufah segera mengarahkan panah dan tombak mereka ke arah Imam Husein. Beberapa anak panah dan tombak mengenai tubuh beliau. Terdengar suara Imam, La haula wa la quwwata illa billahi al-aliyyil adzhim, “ Tiada daya dan upaya menlainkan dari Allah yang Maha Tinggi lagi maha Agung.
 Sebuah suara ejekan terdengar dari balik barisan Umar bin Sa’ad. “Hei Husein, lihatlah sungai yang tampak segar itu. Tapi sayangnya, engkau tidak akan pernah merasakan air Furat sampai mati kehausan.” Imam Husein hanya memanjatkan doa menjawab kelancangan itu, “Ya Allah, binasakanlah dia dengan rasa haus yang mencekik.”
Doa Imam Husein terkabul. Orang itu terkena rasa dahaga yang mencekik namun tak kunjung reda meski telah meminum banyak air. Akhirnya dia tewas mengenaskan dengan perut yang kekenyangan air tanpa mampu mengusir rasa hausnya.
 Abul Hunuq Al-Ju’fi membidikkan panahnya ke arah Imam Husein AS. Anak panah itu menancap tepat di dahi beliau. Imam menariknya dari dahi suci itu. Tak ayal, darah segar langsung mengalir dengan derasnya dan membasahi wajah beliau. Beliau mengatakan, “Ya Allah, saksikanlah apa yang dilakukan kaum ini terhadapku. Ya Allah binasakanlah mereka. Jangan Engkau biarkan seorangpun dari mereka hidup di bumi ini. Tuhanku jangan Engkau ampuni kesalahan mereka.”
 Kepada para durjana itu, Imam Husein berseru, “Hei kalian semua, betapa buruknya perlakukan kalian terhadap keluarga Nabi kalian sendiri. Demi Allah, aku selalu mengharapkan kemuliaan syahadah. Allah-lah yang kelak akan menuntut balas darahku dengan cara yang tidak kalian duga sama sekali.”
 Hushain bin Umair menyela, “Hei Husein, bagaimana Tuhan akan menuntut balas darahmu dari kami?” Imam menjawab, “Allah akan menghukum kalian dengan kejahatan di antara kalian sendiri. Saat itulah, Dia akan menurunkan azab-Nya atas kalian.”
 Sejenak Imam Husein menghentikan pertempuran untuk sedikit beristirahat. Tanpa diduga, seorang durjana melemparkan batu besar ke arah beliau dan mengenai wajahnya. Kembali darah segar mengucur dari wajah Imam Husein AS. Beliau segera menarik ujung baju dan membalut lukanya dengan kain itu.  Namun di saat yang sama seorang pendurhaka membidikkan anak panah bermata tiga ke arah Imam Husein dan bersarang tepat di dada beliau. Terdengar suara Imam yang mengatakan, “Bismillah wabillah wa a’la millati rasululillah.”  Cucu nabi itu mengangkat tangannya dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau saksikanlah bahwa mereka telah membantai satu-satunya cucu Nabi-Mu di muka bumi ini.”
Imam Husein AS mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah segar mengalir deras dari luka itu. beliau mengambil darah itu di telapak tangannya dan melemparkannya ke atas seraya mengatakan, “Ya Allah, mudahkanlah kematian ini.” Imam Husein kembali meraup darahnya dan berkata, “Aku ingin segera bertemu Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan seperti ini.”
 
Kucuran darah itu melemahkan gerak Imam Husein yang lantas terduduk di padang gersang Karbala. Mendadak Malik bin Nashr datang. Sambil mengucapkan kata-kata penghinaan kepada putra Fathimah itu, Malik mengayunkan pedangnya ke arah Imam Husein. Pukulan itu tepat mengenai kepala Imam Husein. Darah segar kembali memancar dari kepala beliau. Hani bin Tsabit berkata, “Ketika Husein terduduk, aku menyaksikan sekelompok prajurit Kufah datang menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdullah bin Hasan, yang masih sangat belia datang untuk membela pamannya. Saat Bahr bin Ka’ab hendak memukulkan pedangnya ke arah Husein Abdullah berseru, ‘Hei anak wanita jalang, Apa yang hendak kau perbuat terhadap pamanku?” Bahr berpaling dari Imam dan melayangkan pukulan pedangnya ke arah Abdullah. Bocah cucu Nabi itu menangkis pukulan Bahr dengan tangannya. Tak ayal tangan kecil itupun terbabat dan terlepas dari tubuh Abdullah. Abdullah menjerit histeris, “Paman, mereka memotong tanganku.” Imam Husein mendekap keponakannya itu dan mengiburnya, “Bersabarlah, karena sebentar lagi Allah akan mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh.” Tiba-tiba Harmalah bin Kahil membidikkan panahnya ke arah Abdullah. Abdullah gugur di pangkuan pamannya, Al-Husein AS.
 
Imam Husein berada di tengah-tenah arena pembantaian. Tapi tak ada seorangpun yang berani membunuhnya. Masing-masing menolak untuk tampil di lembar sejarah sebagai pembunuh cucu Rasul. Syimr yang menyaksikan keadaan itu menyeringai, “Apa yang kalian tunggu? Cepat habisi dia.” Zar’ah bin Syuraik maju memukulkan pedangnya di pundak kiri Imam Husein. Di saat yang sama, Hushain membidikkan anak panahnya ke tenggorokan beliau, sementara seorang lagi mengayunkan pedang ke leher Al-Husein. Sinan bin Anas ambil bagian. Dengan kejamnya, dia menusuk dada putra Fathimah itu dibantu oleh Sholeh bin Wahb yang memukul pinggang beliau dengan pedangnya.
 
Peristiwa segera disusul oleh teriakan histeris para wanita suci keluarga Nabi. Ummu Kultsum berseru, “Ohhh, Huseinku.” Zainab yang tak mampu menahan diri menjerit histeris, “Ohhh, Husein, setelahmu, dunia ini tak berarti lagi. Ohhhh, andai saja langit ambruk ke bumi ini.” Zainab segera berlari ke arah abangnya sambil berseru, “Adakah orang muslim di antara kalian? Lihatlah apa yang mereka perbuat terhadap buah hati Rasul!”
 
Umar bin Sa’ad maju, “Habisi Husein secepat mungkin,” perintah Ibnu Saad. Syimr bin Dzil Jausyan maju dan duduk di atas dada Imam Husein. Sekejap kemudian, kepala cucu Rasul itu terlepas dari tubuhnya dan berada di tangan si durjana Syimr bin Dzil Jausyan.
 Allahu Akbar - Lailaha illallah
 Mendung selimuti langit, tebarkan senandung duka
Mentari Karbala tampil bersungut suguhkan prahara
Deru derap kaki kuda dendangkan irama luka
Bunga-bunga suci kenabian terbujur di Karbala
 
Sebuah drama pengorbanan telah dipentaskan
Para syuhada gugur, tinggalkan kisah kebebasan
Jiwa-jiwa suci melayang, menolak kehinaan
Pengorbanan sejati demi agama dan kemuliaan
 
Darah Husein sirami sahara Nainawa
Tebarkan aroma harum taman nirwana
Karbala kini rumah abadi cucu Musthafa
Bersama keluarga dan para sahabat setia